[CERPEN] Ranah Cinta Rana

 

RANAH CINTA RANA


_Dalam Ingatanmu, 2015_


Cinta adalah perasaan kasih.


     Setiap kali kamu mendengar beberapa orang menyebutkan kata cinta di hadapan pasangan mereka, kamu selalu berpikir bahwa, mereka adalah orang-orang tangguh yang siap menanggung risiko. Kamu tak terlalu percaya cinta selain cintamu kepada Tuhan, kepada Ayah Bunda, kepada adik-adikmu dan kepada mereka yang tak akan pernah membuatmu menanggung risiko itu. Melihat bagaimana orang melakukan tindakan konyol hingga menjadi lemah atas nama cinta. Sakit bahkan mati akibat cinta. Cinta adalah buta. Dan kamu tak ingin buta. 


     Namun belakangan, kamu baru menyadari bahwa cinta hanyalah perasaan kasih tiada banding. Cinta tak memilih darimana akan datang. Cinta itu tulus tanpa imbalan. Cinta akan terluka bila orang yang kamu cinta terluka. Sama seperti cintamu kepada lelaki itu.


* * *


Februari 2018


       Kamu terluka. Kakimu berdarah akibat menginjak pecahan kaca dari segelas jus yang tumpah. Kamu meringis kesakitan namun mencoba mengabaikannya. Kamu memilih melihat seragam lelaki itu yang kotor akibat ulahmu. Perasaan cemas dan bersalah melandamu.


     “Eh, kamu gak apa-apa?” tanyamu, kemudian mendongak menatap wajah lelaki itu.


     Kamu terkejut. Kamu melihat wajah lelaki itu berbinar menatapmu. “Cinta...,” katanya dan memegang tanganmu dan berlutut. Lelaki itu mencium punggung tanganmu.


     Kamu mundur dan ketakutan. Kamu menatap lelaki itu dengan pandangan aneh. Kamu mencoba berlari namun kakimu yang terluka membuatmu oleng. Kamu menutup mata siap terjatuh namun sepasang tangan kuat menahanmu. Kamu membuka mata dan melihat wajah lelaki itu sangat dekat. Jantungmu berdebar-debar bukan karena cinta, melainkan karena terkejut.


     “Kamu gak apa-apa, Cinta? Mau kemana, Cinta? Kenapa lari-lari, Cinta? Bilang sama aku, biar kugendong,” katanya dan tubuhmu tiba-tiba serasa melayang. Lalu hangat. Kamu berada di dalam gendongan lelaki itu.


     Kamu tersadar dan mulai meronta. “Turunin aku! Turuniiin!” kamu berteriak. Kamu rasakan lelaki itu mulai melangkah. “Eh, kamu mau bawa aku kemana?!” kamu kesal dengan lelaki itu yang menurutmu kurang sopan.


     Lelaki itu tersenyum geli merasakan rontaanmu. “Tenang, Cinta, kita Cuma mau ke UKS kok. Kita obati luka kamu.”


     Kamu bingung mengapa lelaki itu terus memanggilmu Cinta. Kamu ingin menyuruhnya berhenti memanggilmu Cinta. “Nama aku bukan Cinta,” kamu berkata ketus.


     “Terus?”


     “Kamu gak perlu tahu.”


     “Ya sudah kalau begitu. Biar aku cari tahu sendiri. Yah, meski nanti aku bakal lebih suka manggil kamu Cinta.”


     Di UKS, kamu berusaha tidak terkesan dengan cara lelaki itu merawat lukamu. Sangat lembut dan hati-hati. Jantungmu berdebar-debar mengingat ini kali pertama kamu sedekat itu dengan seorang lelaki selain ayahmu. Kamu tidak merasa nyaman. Kamu ingin cepat-cepat menjauh dari lelaki itu. Dan kamu sangat lega saat akhirnya lelaki itu selesai mengurusi lukamu.


     “Sudah selesai ya? Makasih ya? Sekarang kamu udah boleh pergi,” kamu berkata, mengusir.


     Kamu melihat lelaki itu untuk sewaktu terdiam dan berpura-pura berpikir. 

“Hmm... hmm...," Kemudian menjawab, 

"Oke," membuat kamu merasa sangat lega. Kamu hampir menghela napasmu namun lelaki itu terlebih dulu melanjutkan, "Tapi, besok aku pastikan kita ketemu lagi, ya?” dan membuat kelegaan sesaatmu seketika sirna.


* * *


       Di lorong kelas menuju kantin.
Hari itu kamu berjalan bersama sahabat kamu yang sudah bersama kamu semenjak SMP. Kamu ingin mengisi perutmu yang lapar di kantin. Kamu melintas di depan kelas 11-IPS-2. Kamu melihat banyak siswi berkerumun. Kamu penasaran. Kamu ingin tahu apa yang mereka lihat. Tubuhmu yang kecil bersama sahabatmu berusaha menyusup di antara kerumunan siswi-siswi itu. Namun langkah kamu berhenti sesaat mendengar suara lelaki itu yang tidak asing.


     Ciiinta adaalah misteri dalam hidup ku... 🎶🎶🎶


     Kamu melihat lelaki itu bernyanyi. Kamu juga melihat dua lelaki lain temannya mengiringi menggunakan botol. Lalu kamu berusaha abai. Kamu menganggap kamu tidak pernah melihat lelaki itu di sana. Kamu ingin segera pergi namun lelaki itu terlebih dahulu melihatmu.


     “Cinta! Hoi Cinta!” Kamu mengabaikan panggilan Cinta darinya karena namamu bukan Cinta. Kamu melanjutkan langkahmu dan menarik lengan sahabatmu kembali menuju kantin. Namun selanjutnya kamu berhenti, lebih tepatnya karena terkejut mendengar Lelaki itu memanggil nama aslimu. “Rana!” kamu heran mengapa lelaki itu bisa mengetahui namamu.


     Lagu Cinta berubah menjadi Lagu Rana ciptaan lelaki itu.


     Kamu tetap mengabaikannya dan terus melangkah.


     Seminggu selanjutnya, hidupmu di sekolah menjadi tidak pernah tenang sebab lelaki itu.


     Kamu menganggap lelaki yang sekarang kamu tahu bernama Ridho itu bodoh karena tidak pernah mengerti maksudmu. Berulangkali kamu berusaha menegaskan bahwa kamu tidak suka dengan kehadiran lelaki itu. Namun ia seolah tuli. Kamu bertanya mengapa lelaki itu selalu berada di sekelilingmu dan mengganggumu.


     "Karena aku cinta kamu," jawabnya kala itu sembari mencium tanganmu, lagi.


     Kamu menarik tanganmu. Kamu pergi dengan kesal. Kesal karena jantungmu masih berdebar-debar setelah selama itu. Kamu berpikir, seharusnya kamu sudah terbiasa dengan perlakuan lelaki itu padamu. Dan seharusnya kamu tidak lagi berdebar-debar.


      Dalam langkahmu, tanpa kamu sendiri sadari, samar-samar bibirmu tersenyum. Dan mungkin dalam sudut terkecil hatimu, kamu diam-diam mengakui bahwa kamu mulai suka dengan perlakuan lelaki itu.


* * *


       Hari itu kamu tidak mendapati lelaki itu di manapun. Awalnya kamu merasa biasa dan justru menyukainya. Kamu menganggap hari-hari tenangmu di sekolah telah kembali. Kamu tidak memusingkan kehadiran lelaki itu lagi. Kamu bebas.


     Namun seminggu setelah kebebasanmu, kamu tanpa lelaki itu, kamu mulai rindu. Hari-hari menjadi sepi tanpa lelaki itu. Kamu mulai mencari-carinya, namun tak kamu temukan. Lelaki itu benar-benar absen selama seminggu. Bukan hanya absen menemuimu tetapi juga absen dari sekolah. Kamu mulai mempertanyakan. Kemana lelaki itu? Karena kamu rindu. Kamu ingin melihatnya lagi. 


     Kamu mulai melakukan hal yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya. Kamu seringkali berpura-pura melintas di depan kelas lelaki itu hanya demi melihat lelaki itu, namun tetap tak kamu temukan. Kamu melihat dua teman lelaki itu dan kamu memberanikan diri untuk bertanya.


     “Emm...,” Kamu berkata gugup. Kamu malu. Namun salah satu teman lelaki itu segera mengerti.


     “Biar aku tebak. Kamu nyari Ridho?” 


     Kamu mengangguk semangat dan menyadari jika itu terlalu semangat. Kamu segera menggeleng. Kamu mendengar dua teman lelaki itu menertawaimu dan kamu semakin malu.


     “Nggak perlu malu kali, kita ngerti,” Kata salah satu teman lelaki itu tetapi kamu masih melihat mereka menertawaimu. Namun setelahnya, wajah mereka berubah menjadi sendu. “Oh, Ridho ya? Ridho... Dia koma sejak seminggu lalu. Dia habis kecelakaan. Motornya nabrak bis.” 


     Kamu tidak berusaha menutupi rasa terkejutmu. Kamu termangu. Matamu melebar. Tiba-tiba kamu merasa takut memikirkan kemungkinan lelaki itu akan pergi lebih jauh lagi.


     “Kalo kamu mau jenguk, kamu bisa ikut kita sepulang sekolah nanti.”


     “Oke.”


     Kamu kembali ke kelasmu dengan wajah lesu. Semua teman-teman kelasmu menatapmu namun tidak biasanya kamu abai dan tidak merasa risih.


     Sepulang sekolah kamu menumpang kendaraan dua teman lelaki itu dengan hati gelisah dan berusaha menganggap bahwa mereka sedang mencandaimu. Kamu tersentuh mendengar mereka bercerita mengenai lelaki itu yang tidak henti-henti menyebut namamu ketika mereka bertiga berkumpul. Sampai akhirnya kamu tiba di rumah sakit tak lama kemudian.


     Kamu mengikuti mereka dalam diam. Kamu tiba di depan sebuah ruangan rawat. Kamu melihat seorang perempuan tiga puluh tahun tengah duduk menunggu dan dua teman lelaki itu mencium tangannya. Kamu mengikuti mereka dengan canggung.


     “Dia pacar Ridho, Tante,” kata salah satu teman lelaki itu memperkenalkanmu.


     Kamu menatapnya yang berbohong dengan pandangan tidak percaya. Kamu malu. Kamu ingin menyanggah perkataannya itu. “Bo-bohong, Tante,” katamu susah payah.


     Namun perempuan tiga puluh tahun itu malah menyambutmu dengan senang hati. “Nama kamu pasti Rana ya? Ayo, ayo, masuk! Ridho pasti senang kamu datang.”


     Kamu memasuki ruangan putih dan kamu terenyuh melihat lelaki itu benar-benar terbaring di sana. Kamu merasa dadamu sesak. Kamu masih ingin percaya jika ini sebuah candaan, namun kamu telah melihat kenyataan.


     Kamu mendekati lelaki itu dengan langkah berat. Kamu ingin mendengar suaranya lagi.


     “Hai,” sapamu sendiri. Lelaki itu tak menjawab, tak juga bergerak.


     “Lucu ya? Dari awal aku yang nolak kamu mati-matian, tetapi malah aku juga yang gak ingin kamu pergi. Aku kangen kamu, sekarang kamu puas? Aku kangen suara kamu, aku kangen tingkah konyol kamu, aku kangen kamu yang dekat-dekat aku...,” kamu merasa air matamu mengalir deras seperti sungai.


     “Kamu pasti puas banget kan? Sekarang bangun.”


     Hening.


     Kamu terisak merasa suasana ruangan itu masih hening.


     “Oh, aku paham. Kamu pasti nunggu aku ngatain kata cinta, 'kan? Oke, aku-cinta-kamu. Cinta, cinta, cinta. Sekarang puas 'kan? Bangun dong.”


     Semenjak itu kamu terus menjenguk lelaki itu sepulang sekolah. Kamu ingin dekat dengan lelaki itu. Kamu ingin lelaki itu melihatmu pertama kali saat tersadar.


     Namun harapanmu tidak selalu terwujud. Hari keempat sejak kamu datang, kamu mendengar kabar bahwa lelaki itu sadar bukan saat bersamamu. Kamu tetap sangat bahagia. Kamu ingin segera memeluk lelaki itu namun kamu tidak tahu apa yang akan kamu katakan ketika berhadapan dengannya.


     Dan sekarang kamu disitu, hanya berdiri di balik pintu dengan bimbang. Kamu menghitung kancing bajumu untuk memilih, haruskah kamu mengetuk pintu? Atau tidak. Atau iya?


     Kamu terkejut ketika tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Kamu melihat perempuan tiga puluh tahun ibu lelaki itu juga sama terkejutnya denganmu. 


     “Lho, Rana? Ayo masuk.” 


     Kamu dituntun masuk ke dalam menemui lelaki itu. Kamu merasakan jantungmu berdebar, sudah lama kamu tidak merasakan perasaan itu. Dan kamu melihat lelaki itu tengah duduk sembari tersenyum kepadamu.


     “Hai, aku sudah dengar semuanya dari Mama,” katanya.


     Kamu tak tahan untuk memeluk lelaki itu. Kamu menangis tersedu-sedu di pundaknya. Kamu lega. Kamu bahagia. Kamu akhirnya bisa mendengar suara lelaki itu lagi.


      Kamu menemani lelaki itu terapi berjalan pasca koma.


     “Kamu tahu gak, apa yang ada di mimpiku saat koma?” tanya lelaki itu padamu kala itu. Kamu menggeleng. “Ada bidadari yang bilang cinta sama aku, kekeke, Aku memang ganteng sih.” Lelaki itu terkekeh. Dan kamu tersenyum malu mengingat pasti kamulah bidadari yang mengatakan cinta waktu itu. 


     Namun segera, kamu memeluk lelaki itu erat. Kamu bahagia melihat lelaki itu tertawa bahagia. Kamu berjinjit dan mendekatkan bibirmu di telinganya dan berbisik; “Aku cinta kamu, Ridho. Aku cinta kamu.”


     Dan tepat saat itu kamu menyadari, bahwa cinta hanyalah perasaan kasih tiada banding. Cinta tak memilih darimana akan datang. Cinta itu tulus tanpa imbalan. Cinta akan bahagia bila orang yang kamu cintai bahagia. Sama seperti cintamu kepada Ridho.


End


Komentar