[CERBUNG] Cermin Emas bagian 1


CERMIN EMAS


Ini aneh banget. Saat aku menatap cermin, aku 
bukannya menemukan bayanganku 
sendiri tengah menatapku balik, tetapi malah serangkaian gambar menyerupai potongan film pendek. Film 
pendek yang mengerikan. Dengan aku sendiri 
sebagai pemeran utama film itu! 


Jumat, 15 Januari 2016, Toko Barang Antik di kotaku 

       TADINYA enggak ada niatan sama sekali buatku untuk mengunjungi toko itu. Jika bukan akibat hujan lebat, yang membuat aku terpaksa menepi, aku juga enggak bakalan mau berdiri di depan toko dengan barang-barang kuno yang mengisi semua rak-raknya seperti waktu itu, tahu. Bangunannya entah kapan terakhir kali direnovasi. Lampu temaram yang tergantung di atap reot seperti bisa jatuh kapan saja. Kaca bertuliskan nama toko “Toko Antik JOKO POLENG“ terlihat jarang dibersihkan dan kotor banget, ih. Pintu kayu keropos dimakan rayap. Dinding kusam, dengan banyak retakan-retakan lebar di sana sini membuat toko terasa sangat suram, terlebih buatku. Lalu, bertambah muram saat dipadukan dengan cuaca yang terjadi sekarang ini; hujan lebat disertai awan hitam yang menggantung di sisi langit. Mengingatkan aku pada sebuah adegan di film horor yang sewaktu kecil sering membuatku mimpi buruk. Dan kini aku seakan dipaksa mengalaminya sendiri!
 
       Percikan-percikan air hujan sedingin es menciprat mengenai kakiku yang sedang berteduh dan membuatku mundur, ingin lebih merapat ke dinding tetapi aku lupa kalau berdiriku saja sudah mentok ke dinding itu. Sebelum akhirnya aku mendengar suara pintu yang berderit terbuka. Lalu tidak lama, keluarlah seorang nenek, si pemilik toko yang sudah tua, yang umurnya kira-kira 60 tahun, dengan pakaian sehari-harinya perempuan jawa di jaman dulu; kebaya, berwarna hitam. 

       Si nenek berdiri di ambang pintu menatapku dengan mata merah yang mengerikan selama beberapa detik. Senyum ramah tersungging di bibirnya, tetapi enggak sedikitpun membuat aku merasa lebih baik. 

       “Monggo¹,” kata si nenek itu yang terdengar ramah di telingaku, “Sudah lama kamu berdiri di situ dan kedinginan, nduk,” lalu dia melanjutkan. 

          Kemudian si nenek menyingkir dari ambang pintu, membiarkan pintu terbuka lebar untuk aku masuk. 

       Awalnya, aku jelas ragu untuk menerima tawaran nenek itu. Bagaimana enggak coba? Selain aku enggak mengenal nenek itu, aku juga... Entahlah, meski kedengarannya dia ramah, aku masih merasa takut. Lihat rambut putih yang agak awut-awutan dan mata merahnya itu, ngeri banget. Tetapi melihat dia yang seperti memohon akhirnya membuatku luluh juga. Lagipula, aku membutuhkan tempat yang lebih hangat dibanding di luar situ 'kan?. 

       “Sudah lama tidak ada pelanggan datang ke mari,” si nenek itu berkata sambil menyerahkan segelas teh hangat kepadaku. Dan aku cuma membalasnya dengan ucapan terima kasih lalu duduk di sebuah kursi kecil yang tergeletak di sana. 

       Mataku menelusuri setiap isi toko. 

       Suasananya masih sesuram yang tampak dari luar. Tetapi seenggaknya, lampu di dalam situ masih lebih terang dibandingkan lampu yang di luar sana. Dengan barang-barang kuno seperti yang aku katakan tadi menyesaki tempat ini. Cuma ada sedikit jarak antara rak satu dengan rak lainnya untuk pelanggan mengambil barang yang ingin dibeli. Berbagai topeng tokoh pewayangan terlihat menarik, lebih mencolok dari yang lainnya, tetapi enggak cukup mampu membuat aku mendekat dan ingin membeli. Lalu, sebuah cermin tangan berbingkai emas barulah menarik perhatianku. 

       Cermin itu tergantung di salah satu sisi rak yang dipenuhi kendi-kendi antik. Terlihat berbeda sekaligus misterius di mataku yang agak sipit. Hingga tanpa disadari, aku pun mendekatinya, ingin memperhatikannya lebih dekat lagi. 

       Ah, tadinya aku mengira ukiran pada bingkainya adalah ukiran biasa. Maksudku, ukiran bunga-bungaan beserta daunnya yang mainstream banget. Tetapi ternyata itu adalah ukiran kelabang-kelabang yang di cat dengan warna emas. Cantik. Dan seketika ini aku teringat pada bibiku, Aunt Liliana, yang kini sedang ada di Singapur. 

       Menurutku, misalkan saja di keluarga besarku ada nominasi tentang siapa kolektor seni terbaik, pastilah Aunt Liliana yang menang. Dia adalah perempuan penyuka seni sejati. Setiap barang-barang yang ada di rumahnya sebagian besar adalah barang bernilai seni tinggi dan antik. Enggak peduli seberapa mahalnya harga barang itu, jika auntie suka, seketika dia pasti akan membelinya. Terkadang, auntie juga memberikanku hadiah-hadiah semacam itu saat aku ulang tahun. 

       Dan melihat cermin ini jelas membuat aku teringat pada auntie. Aku yakin aunt Liliana juga suka karena penilaianku enggak berbeda jauh dengannya. Seperti auntie, aku juga mempunyai selera yang tinggi kalau memilih barang, tahu enggak? 

       Meski... Yah, selama ini aku lebih suka memilih-milih barang branded sih. 

       “Kamu sungguh cantik, nduk.” 

       Aku tersentak. Tiba-tiba saja si nenek sudah berdiri di sampingku dan memperhatikan bayanganku di cermin dengan wajah berbinar.  Aku mengukur tingginya yang hanya sebatas telingaku, lalu, melihat wajahnya yang berbinar itu, aku pun jadi ingin lebih memperhatikan bayanganku sendiri. Sebelumnya aku enggak terlalu fokus pada bayanganku ya. 

       “Masa sih, nek?” tanyaku sambil memperhatikan bayanganku yang memang benar cantik. Aku memang cantik, tiba-tiba rasa narsis menghampiriku. 

       Aku melihat si nenek mengangguk singkat sebelum berkata, “Cermin itu cermin istimewa, nduk. Cermin itu bisa melihat kecantikan seseorang lebih dari cermin biasanya,” kata si nenek dan aku cuma terdiam. Nenek mengambil cermin dari tempatnya, lalu mengelus-elus bingkainya dengan penuh hikmat seolah benda itu adalah anaknya yang akan diberikan pada orang lain sebentar lagi. Dan lalu dia menatapku, dan berkata, "Sepertinya dia menyukaimu, nduk." 

       Di luar, aku enggak tahu kapan tepatnya hujan sudah berhenti. Keadaan tiba-tiba hening. Dan aku terjebak dalam kebingungan akibat perkataan si nenek itu. Apa maksudnya sih? 

• • • 

Sabtu, 16 Januari 2016 

       Namaku Lectra. Selama ini aku dibesarkan selayaknya anak-anak tunggal yang sejak kecil sudah tinggal di sebuah kompleks elit di Jakarta. Bersama Papi dan Mamiku yang terkadang cerewet, eh sangat cerewet, tetapi perhatian. Papi seorang direktur di perusahaan swasta, dan Mami seorang ibu rumah tangga biasa sebelum memutuskan untuk mendirikan usaha butik bersama aunt Liliana beberapa tahun lalu. Mereka berdua mengelola sebuah butik di Jakarta yang sekarang cukup terkenal, aunt Liliana pergi ke Singapur juga untuk keperluan butik mereka itu. Walaupun begitu, aku sangat bersyukur karena enggak ada sedikitpun dari Mami yang berubah meski sekarang dia sibuk banget. Mami masih perhatian sama seperti dulu. 

       Seperti pagi ini contohnya. 

       “Mih, pokoknya Lectra mau sekolah, titik,” kataku pada Mami yang menatapku jengkel. 

       Kemarin, setelah aku pulang telat gara-gara hujan, aku tiba-tiba saja mengalami demam tinggi sampai-sampai membuat Mami khawatir. Aku bahkan enggak diizinkan masuk sekolah hari ini padahal aku sudah kangen berat pada pacarku, ups.
 
       “Tapi kamu kan masih sakit, Lec,” kata Mami membantah. “Mami nggak tanggung kalo kamu ada apa-apa.” 

       "Mih. Mami tenang aja. Lectra udah sehat kok. Mih, please, please, pleaseee," Aku masih berusaha membujuk Mami. Padahal aku tahu sendiri kalau wajahku ini pucat banget. 

       "Sehat dari mananya? muka masih pucat begitu kok." 

       "Mih, hari ini Lectra ada ulangan,” yah, sedikit berbohong enggak masalah kali, “Nggak bisa ditunda. Papih, bantuin dong...," aku menatap Papi yang sedari tadi diam sambil membaca koran, meminta bantuan. Yang dengan enggak tahunya menjawab, "Papi nggak mau ikut-ikutan, Lec". Membuat aku menatap Papi dengan pandangan kesal. 

       "Mih...," aku masih berusaha membujuk Mami yang masih dengan komitmennya, kali ini dengan mata berkaca-kaca andalanku yang biasanya selalu membuat Mami luluh. 

       Dan berhasil. Yes. Mami diam karena enggak tega melihatku yang hampir menangis, sudah kubilang jika mami enggak tahan dengan jurus andalanku itu, sebelum akhirnya berkata, "Ya udah deh, tapi kamu berangkat bareng Papi ya? Hari ini mobil kamu Mami sita.” 

       "Oke," aku menjawab cepat karena girang. 

       Aku berlari ke kamar mandi untuk bersiap-siap dan turun lagi ke ruang makan setelah itu. Lalu berangkat bersama Papi sesudahnya. 

       "Hati-hati, Lectra. Kalau ada apa-apa telepon Papi, oke?" kata Papi begitu kami sampai di depan gerbang SMA Harapan Unggul, sekolahku. 

       "Oke. Udah ya? Bye, Papih," Aku mencium pipi Papi sebelum memasuki gerbang. 


SMA Harapan Unggul, seperti namanya, SMAku ini selalu mengharapkan seluruh siswa-siswinya unggul dalam bidang apapun. Baik akademik maupun non-akademik. Bahkan, hal itu sudah terlihat sejak aku pertama kali mencari tahu tentang sekolah ini di internet. Percaya atau enggak, tetapi yang aku perhatikan, semua siswa-siswi di sekolahku ini semuanya berasal dari kalangan atas, yang memiliki minimal satu bakat yang enggak main-main di bidangnya. Seperti aku yang sejak kecil sudah diajarkan untuk pandai bermain musik. Dan mungkin karena itu juga aku dipilih menjadi ketua klub musik tahun ini. 

       Aku berjalan menuju kelas diiringi tatapan penasaran beberapa siswa yang aku lewati. Yah, bukannya sombong sih, tetapi, aku ini termasuk siswi yang populer juga loh. Eh, enggak, maksudnya populer banget. Iya, aku enggak bohong, tahu? Selain karena aku ini ketua klub musik, penampilanku keren, ditambah lagi aku juga menjabat sebagai ketua geng cewek paling hits sesekolahan, LLG, singkatan dari namaku dan dua sahabatku, Laura dan Gina. Keren nggak sih? Jadi, enggak heran jika mereka memandangiku setiap aku lewat. 

       Tetapi, semakin lama aku melangkah, semakin juga aku merasa jika tatapan mereka itu berbeda dari biasanya.

• • •

Bersambung...

Komentar