[CERBUNG] Mr. and Mrs. Watson bagian 3 - end


       Malam hari, Arleen terbangun di sebuah kamar yang asing bernuansa cerah. Dengan kondisi baik-baik saja tanpa tangan dan kaki terikat, membuat cewek itu bingung. Aneh sekali, diculik tapi kok nggak di apa-apain, batinnya. Lalu suara tawa dari ruang sebelah membuatnya penasaran. 

       Arleen turun dari ranjang itu dengan hati-hati, lalu berjalan mengendap-endap menuju ruang di sebelahnya, mengintip. Dan amat terkejut melihat pasangan Watson bersama Inspektur Luke ada di sana. Tengah mengobrol seperti halnya teman lama yang sudah lama tidak ketemu, dan juga... Aldo?! 

       Mata Arleen terbelalak. Ngapain kak Aldo di sana?  Ngapain dia akrab sama mereka? 

       Lalu seketika pikiran jika Aldo hanya memanfaatkannya selama ini terlintas, membuat Arleen kecewa. Mungkin saja Aldo bersekongkol dengan Watson untuk menculik orang-orang selama ini? Juga bersama Inspektur Luke. Pantas saja korban-korban yang hilang itu tidak pernah ditemukan. Lalu, apa Aldo dan Inspektur Luke juga kanibal? Dan sekarang Arleen akan menjadi hidangan mereka berpesta begitu? 

       Apapun itu Arleen harus cepat-cepat kabur dari tempat itu sebelum mereka melihatnya. 

       “Arleen!” 

       Baru saja Arleen ingin kabur, Aldo sudah berseru dan membuat jantung Arleen berdebar-debar. Kali ini bukan karena bahagia atau apa tetapi karena ketakutan. Cewek itu takut kalau-kalau hidupnya harus berakhir tragis karena menjadi santapan kanibal. Tidak! 

       Arleen mencoba memaksakan diri berlari di tengah tubuhnya yang tak bisa digerakkan. Ketika Aldo menahan pergelangan tangan Arleen, membuat cewek itu menjerit kaget. 

       “Eh, lo mau kemana, Leen?” tanya Aldo. 

       Tetapi Arleen keburu ketakutan dan berkata, “Kak Al, lepasin kak, aku masih mau hidup kak,” katanya yang membuat Aldo kebingungan. 

       “Hah?” cowok itu cengo, “maksudnya?” 

       Arleen juga kebingungan mendengar perkataan Aldo. Cewek itu menjawab polos, “Kak Aldo kanibal juga kan? Sama seperti Nyonya dan Tuan Watson itu?” kata Arleen. 

       Sesaat suasana hening tiba-tiba, sebelum akhirnya tawa keras meledak di tempat itu. 

       “Lo mikir kita kanibal? Lo lucu banget sih, Leen?” kata Aldo dengan wajah memerah karena tertawa puas. Membuat wajah Arleen juga ikut memerah. 

       “Habis kalau bukan kanibal apa dong, kalian nyulik orang-orang buat dimakan kan?” 

       Arleen menatap semua orang di ruangan makan itu yang sudah berhenti tertawa. Bahkan kini Nyonya Watson tersenyum ke arahnya, dan kalau dilihat-lihat, senyum itu sama sekali bukan senyum mengerikan seperti yang dilihat Arleen selama ini, melainkan senyum seorang wanita paruh baya biasa. 

       "Halo, Nak, bergabunglah bersama kami," kata Nyonya Watson mengajak. 

       Lalu Aldo di samping Arleen menuntun cewek itu duduk. Agak ragu, tetapi akhirnya Arleen pun mau bergabung bersama semua orang di meja makan itu. Di atas meja sudah dipenuhi banyak makanan, dan Arleen mendaftar semua makanan itu di otaknya; ada daging panggang matang, dan yang jelas bukan daging manusia, lalu ikan, tumis sayuran, buah-buahan, dan jus merah, memang sama-sama merah, tetapi jelas itu bukan jus darah melainkan jus tomat kesukaan Arleen. Jadi? 

       “Jadi kalian ini bukan kanibal?” tanya Arleen masih mengingat-ingat soal ketakutannya. 

       Lalu Inspektur Luke yang duduk tepat di depan Arleen menjawab ketus, “Tenang saja, nak, kalaupun kami ini kanibal, kami juga tak akan mau memakan daging kamu. Daging kamu tuh alot, tahu enggak?” kata Inspektur Luke yang sebenarnya membuat Arleen merasa terhina. Tetapi Arleen berusaha tak terpengaruh. Dia masih butuh penjelasan di sini. 

       “Jadi untuk apa saya dibawa ke sini?” tanya Arleen. 

       Dan Tuan Watson yang sedari tadi diamlah yang menjawab. “Soal itu,” katanya menjeda. “Sebelumnya, kamu tenang saja, nak, karena kami sudah bicara dengan papamu bahwa kami akan meminjammu selama beberapa jam," lanjut Tuan Watson dan membuat Arleen menatapnya tidak mengerti. Jadi papanya sudah tahu soal ini? “Jadi...” 

       “Tunggu, jadi papa sudah tahu soal ini? Dan dia diam saja?” 

       “Ya.” 

       "Tapi, kalau begitu kenapa tidak membawaku secara baik-baik?" tanya Arleen sekali lagi. 

       "Itu karena kamu terlihat takut pada kami," Nyonya Watson menjawab. Dan Arleen berpikir jika jawabannya itu memang benar, tapi... 

        “Tapi kak Aldo kan bisa.” 

       “Sorry, Leen. Gue juga nggak ngerti masalah ini, tiba-tiba paman gue nyuruh gue kesini begitu aja,” kata Aldo, tatapannya mengarah pada Inspektur Luke. 

       “Paman? Jadi kalian itu saling kenal?” 

       “Iya, Inspektur Luke itu paman gue. Keren kan? Dan nggak ada yang tau soal ini di sekolah selain elo,” kata Aldo tersenyum bangga. 

       "Oke, kembali ke topik,” berbeda dengan tadi, kali ini Inspektur Luke berkata dengan gaya cool. “Jadi, Arleen Subrata, apa kamu merasa sering diuntit akhir-akhir ini?" 

       Arleen kebingungan menjawab, karena selama ini dia tahunya keluarga Watson lah yang menguntitnya. "Emm, iya sih," katanya ragu. 

       "Ah, sudah kuduga,” kata Nyonya Watson,”wajah kamu sering terlihat waspada, nak," lanjutnya. Lalu Inspektur Luke menatap Arleen serius. 

       "Pelaku sebenarnya kasus ini adalah seorang pengusaha kaya raya yang berniat membeli kompleks ini dengan harga murah. Untuk dibangun kembali menjadi apartemen mewah dengan harga jual berkali-kali lipat. Tetapi karena tak satupun pemilik tanah yang mau menjual tanah mereka, akhirnya pengusaha itu berusaha menakut-nakuti penghuni kompleks, yah dengan menculik beberapa orang. Dan kami di sini tidak mempunyai cukup bukti untuk menangkap orang itu. Maka darinya, kami membutuhkan bantuan orang yang akan menjadi target penculik selanjutnya, dan kami menduga itu kamu," kata Inspektur Luke membuat Arleen meneguk ludah. 

• • • 

Keesokan harinya... 

       Sepanjang malam kemarin, Arleen benar-benar sulit tidur memikirkan pembicaraan bersama keluarga Watson, Inspektur Luke dan Aldo. Masa iya, cewek itu akan di korbankan dalam misi ini? Arleen tahu, dia memang sudah menjadi target penculikan itu. Tapi, tidak bisakah dia diselamatkan saja dibanding harus menghadapi penculik itu? Arleen agak takut. Lagipula dia masih tak habis pikir, berapa banyak sih orang-orang serakah di dunia? Kenapa mereka tak habis-habisnya membuat ulah? Apa sebegitu bangganya mereka bisa merusak kehidupan orang lain? Dan itu Cuma karena uang? 

       Arleen ingin marah-marah setiap memikirkan orang-orang serakah itu. 

       Hari ini, lagi-lagi dia harus berjalan pulang sendirian tanpa Aldo. Cowok itu lagi-lagi tidak masuk dengan alasan sakit, dan Arleen tidak mau percaya setelah jelas-jelas dia melihatnya kemarin dalam keadaan sehat walafiat. Tidak tahu kenapa cowok itu terus menggunakan alasan itu untuk kebolosannya. Tapi Arleen tak mau pusing. Arleen yakin Aldo mempunyai alasan sendiri melakukan itu. 

       Dan papa serta mamanya seperti biasa sibuk dan tak bisa menjemput Arleen hari ini. Jadilah cewek itu harus pulang sendirian lagi dengan berjalan kaki. 

       Omong-omong, sebenarnya tadi Mindi, sahabat Arleen yang terlupakan, memang menawarkan bantuan ingin mengantar Arleen pulang. Tapi Arleen tahu, sahabatnya itu juga tidak naik kendaraan apapun saat ke sekolah. Dia berjalan kaki sama seperti Arleen sekarang, tetapi tentu saja jarak rumah Mindi jauh lebih dekat daripada rumah Arleen. 

       Tiba-tiba Arleen merasa tengkuknya dipukul seseorang dan membuatnya pusing. Arleen melihat seseorang yang memukulnya, tetapi pandangannya kabur sebelum akhirnya semua gelap. 

       Dan Arleen terbangun di sebuah ruangan remang-remang. Samar-samar, matanya yang nanar menyapu ruangan itu, dan mendapati beberapa orang yang tampak dia kenal duduk tak jauh. Kondisi mereka memprihatinkan; tampak lebih kurus dari yang Arleen ingat beberapa hari lalu dan pakaian mereka juga kusut. Lalu tatapan Arleen berhenti pada bocah SMP yang duduk menekuri lantai di dekat oma-oma. 

       “Viko,” panggil Arleen lirih. Cewek itu ingin mendekat saat menyadari kondisi tangan dan kakinya terikat. 

       Viko tampak kaget lalu menoleh. “Kak Arleen!” serunya. 
Arleen mengangguk. “Kita di mana sekarang?” tanyanya ingin tahu tempat asing apa yang di tempatinya. 

       “Kita... di tempat penculik, Kak. Dan nggak ada jalan keluar dari sini,” Jawab Viko lesu. Dia sudah di sini selama tiga hari dan tidak mendapati satupun jalan keluar lain selain pintu yang dijaga ketat penjaga berbadan kekar. Hanya ada ventilasi kecil yang pastinya tak muat dilewati badan manusia. 

       Dan ucapan Viko juga berdampak pada Arleen. “Kamu yakin nggak ada jalan keluar dari sini?” tanyanya khawatir. 

       “Iya.” 

       “Tapi... kita semua harus keluar.” 

       “Gimana caranya kak?” 

       Arleen berpikir. Walaupun kondisi sekarang tidak bisa membuat pikirannya jernih, tapi cewek itu tetap mencoba. Arleen menelusuri ruangan remang itu lebih intens. Tak ada apapun. Hanya ada pintu di sudut ruangan yang menampilkan bayangan dua pasang kaki dari celah bawah pintu. Menandakan penjaga di balik pintu berjumlah dua orang. 

       Arleen menghela napas saat perutnya tiba-tiba berbunyi. “Nggak ada makanan ya di sini?” tanyanya pada siapapun. Cewek itu ingat dia belum makan dari siang dan perutnya sangat lapar saat ini. Di sekolah tadi, Arleen belum sempat makan siang karena sibuk mengerjakan pr yang belum kelar. Itu karena kemarin malam dia tidak mengerjakannya karena terlalu capek. 

       “Oh, iya, sekolah? Tas?” tiba-tiba Arleen ingat hapenya yang dia taruh di dalam tas. Dimana tasnya? Cewek itu mencari-cari dan ketemu. Tasnya ada di dekat mbak Naia, istri pemilik rumah di sudut kompleks Arleen. 

       “Mbak Naia! Tas Arleen! Ada hape di dalamnya mbak,” Arleen berseru kegirangan. Semoga siapapun penculik itu tidak menggeledah tas Arleen dan mengambil hapenya. Arleen berusaha keras melepas ikatan tangannya dan berhasil. Cewek itu buru-buru mengambil tasnya dan mencari hapenya. Lalu menelepon Aldo. 

       Tut... Tut... Tut.... 

       BAG BUG BAG BUG 

       Arleen masih mencoba menelepon Aldo meski terdengar suara gaduh dari luar. 

       Tut... Tut... BRAK! “ARLEENN!!” 

       Tiba-tiba dobrakan keras pintu membuat semua orang di situ kaget. Di susul teriakan seseorang memanggil Arleen. Dan Arleen melihat papanya masuk ke dalam ruangan itu, bersama Aldo. Dan banyak polisi. 

       “Papa!” Arleen memeluk papanya erat. “Papa kok tahu Arleen di sini?” 

       “Kamu enggak sadar kalo di tas kamu ada pelacak?” Arleen menggeleng. “Papa juga tahu dari Inspektur. Tapi kamu baik-baik saja kan, sayang?” tanya Marco. 

       “Iya. Terus penculiknya?” 

       “Paman dan Tuan Watson udah nangkap mereka, Leen. Sekarang, ayo, kita semua keluar dari sini,” kata Aldo. 

       Dan mereka semua mengikuti Aldo untuk keluar dari tempat itu. 

• • •

End

Komentar