[CERPEN] Hantu Seniman Muda

 


Reza, mahasiswa yang suka nongkrong di warung nasgor tidak jauh dari rumah mewah yang katanya angker.


Pukul 20.00.


Rumor yang mengatakan jika rumah mewah angker di ujung jalan itu selalu ramai sejak kedatangan keluarga pemilik baru itu ternyata benar. Kini rumah itu tampak jauh lebih hidup, jauh lebih seperti rumah-rumah lain pada umumnya bahkan, hampir sama sekali tidak ada bekas bahwa dulunya rumah itu pernah menjadi saksi atas pembantaian keji sebuah keluarga seniman muda. Hampir setiap hari selalu terdengar suara canda tawa dari dalamnya, dengan lampu terang benderang yang setiap malam selalu menyala membuat rumah itu kini tak lagi menjadi momok menakutkan bagi orang-orang yang ingin lewat jalanan di depannya saat malam hari. 

     Sedangkan aku, aku sendiri, menjadi penasaran dengan keluarga berani itu. Keluarga yang mampu bertahan di rumah yang sudah terkenal angker selama bertahun-tahun itu, dan juga tidak pernah mengeluh atas kejadian-kejadian janggal selama mereka tinggal di sana. Sudah beberapa bulan berlalu. Entah mungkin mereka menutup-nutupi, atau mereka memang tidak pernah sekalipun mengalami kejadian-kejadian aneh. Entahlah. Yang terpenting, aku memang penasaran pada keluarga itu, terutama pada anak cewek mereka yang katanya sering ditinggal ke luar kota.

     Rasa-rasanya malam ini pun tidak ada bedanya seperti kemarin-kemarin. Kini aku hampir setiap sabtu menyempatkan waktu sepulang kuliah untuk nongkrong di warung nasi goreng Bang Junet, sambil diam-diam mengawasi rumah angker beserta keadaan di dalamnya, dan berharap sekali bisa bertemu secara tidak sengaja dengan cewek itu ketika sama-sama ingin membeli nasi goreng. Siapa tahu? Sebuah harapan yang gampang namun tidak pernah kejadian selama hampir dua bulan ini.

     Rumah itu tampak ramai seperti biasa. Tampak banyak orang bergantian lalu lalang di dalam rumah itu padahal yang aku dengar, Tuan dan Nyonya pemiliknya sedang pergi dan hanya meninggalkan si anak cewek beserta pembantunya. Mungkin saja anak cewek itu mengundang teman-temannya atau apa. Yah, kalau memang begitu sih, syukurlah. Setidaknya cewek itu tidak sendirian malam ini. Entah mengapa aku sedikit khawatir jika memang cewek itu harus sendirian di rumah itu.

     “Oi, Bang. Jadi beli nggak nih.”

     Kulirik Bang Junet yang sepertinya mulai kesal melihatku terus memandangi “mantan” rumah angker itu sambil bengong. Kemudian kulemparkan cengiran lebar padanya.

     “Jadi dong, Bang. Maaf, maaf. Kayak biasa ya. Yang pedes.”

     Bang Junet seketika mengangkat jempolnya dan membalas cengiranku dan berkata, “Oke. Sip.”

• • •


Lisa, cewek anak pemilik baru rumah mewah yang katanya angker.


Pukul 20.05


Malam ini Kak Joy, Kak Vivi dan Kak Sharon menginap lagi di rumahku. Aku senang banget. Mereka bertiga memang tipe teman-teman yang asyik. Mereka bertiga bisa-bisanya mau menemaniku yang sedang sendirian di rumah karena Mama dan Papa sedang dinas ke luar kota selama beberapa hari. Padahal mereka juga tahu tentang rumor rumah ini yang katanya angker, tapi mereka tetaaap saja mau menemaniku di sini. Memang agak bandel, tapi membuat aku jadi terharu. Padahal, mereka itu belum terlalu lama menjalin persahabatan denganku.

     Kami berempat baru mau memulai menonton film Gonjiam di kamarku setelah cekcok akibat berebut film mana yang harus ditonton berakhir. Kak Joy mau film yang kebarat-baratan seperti twilight saga, Kak Vivi mau film Thailand yang berbau-bau Mario Maurer, si aktor ganteng asal negara itu, Kak Sharon mau Kdrama, sedangkan aku sendiri mau film horror.

     Yah, aku memang suka banget sama film horror. Maka dari itu, teman-temanku di sekolah yang dulu sering memanggilku miss horor. Semata-mata bukan karena tampangku yang horor melainkan karena keberanianku saat menonton film horor yang mengalahkan keberanian laki-laki. Kalau tampangku sih, jelas-jelas nggak ada horor-horornya sama sekali.

     Nah, sekarang sudah bisa di tebak ‘kan siapa yang mengusulkan film Gonjiam ini? Jelas banget, aku. Aku yang menang setelah barusan kami mengundi dengan menggunakan botol yang diputar.

     “Lis, yakin mau nonton ini?” Kak Vivi akhirnya bertanya, dan diangguki oleh Kak Joy dan juga Kak Sharon. Mereka bertiga sudah mengumpet sambil menutup-nutup muka dengan telapak tangan di belakangku persis seperti anak kecil yang ketakutan. Padahal film baru saja mulai dan masih pada tahap pengenalan pemain.

      Aku menjawab pertanyaan itu dengan mantap dan yakin, berani. “Yakin banget.”

     Sebetulnya, aku sama sekali nggak ada masalah kalau harus ditinggal Papa Mama sendirian di rumah selama beberapa hari, sama Mbok Tuti deh, karena aku sudah terbiasa ditinggal saat masih di rumah kami yang dulu. Bukan sekali atau dua kali Papa Mama ke luar kota, dan meninggalkan aku selama berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu. Dan aku baik-baik saja.

     Bahkan meski orang-orang menyebut rumah ini angker sekalipun, aku tetap yakin aku berani tinggal sendirian di rumah ini.

     Nggak terasa film sudah jalan setengah jam diiringi teriakan-teriakan kaget serta ketakutan dari Kak Joy, Kak Vivi, Kak Sharon dan terkadang juga aku. Kurasakan tiba-tiba perutku mulai mengeluarkan bunyi keroncongan lagi. Bunyi orang kelaparan yang keras banget. Membuat wajahku seketika memerah di depan Kak Joy, Kak Vivi dan juga Kak Sharon. Padahal, aku ingat aku baru saja makan sepiring capcai bikinan Mbok Tuti tadi sore. Duh, karena ini nih, terkadang aku berpikir julukan lainku ‘si perut karet' yang diberikan teman-temanku dulu rasanya nggak ada yang salah sama sekali.

     “Laper nih. Kak, mau nasi goreng gak?” 

     Aku mengatakan itu sambil berdiri, dan Kak Joy reflek menarik tanganku. 

     “Mauuu. Tapi matiin dulu dong filmnya. Kita makin takut nih kalo nggak ada elo,” kata Kak Joy. 

     Kak Sharon kemudian menyambung, “Iya. Matiin aja. Kita ganti film yang lain, ya?”

     Kak Vivi mau nggak mau ikut-ikutan. “Gue setuju!” 

     Dan aku pun nggak ada niat menolak sebetulnya. “Ya udah, kalo gitu terserah deh.”

     Setelah mengatakan itu, aku langsung keluar dari kamarku meninggalkan mereka di dalam kamar itu.


• • •


Masih Lisa


Warung Nasi Goreng Bang Junet di depan rumah


Cowok itu rasa-rasanya aneh banget. Kenapa sih dia terus saja memandangiku bahkan sejak pertama kali aku keluar dari gerbang rumah? Kalau begitu, siapa yang nggak akan paranoid coba? Jangan-jangan cowok itu mau berniat jahat lagi. Mau berbuat macam-macam. Jangan-jangan dia itu perampok yang mau merampok rumah baruku karena tahu kalau Papa Mama sedang nggak ada di rumah. Duh, kalau memang begitu aku harus ngapain dong? Aku harus siapin jebakan pasti. Atau nggak minta bantuan keamanan di sini biar lebih mengawasi rumahku.

     Tapi, sekilas lihat sih, cowok itu tampak seperti cowok baik-baik. Pakaiannya lumayan rapi seperti seorang mahasiswa yang baru pulang dari kampus dan kebetulan sedang nongkrong di warung ini. Wajahnya juga lumayan ganteng dengan kumis tipis yang nggak akan kelihatan kalau dipandangi dari jauh. Tapi, ah, penampilan ‘kan terkadang menipu. Bisa jadi di luar cowok itu tampak baik tapi di dalamnya ... Ya gitu deh. ‘Nggak baik'. 

     Aku di warung nasi goreng Bang Junet masih menunggui pesananku yang rasanya nggak kunjung usai semenjak tadi. Sambil memandangi rumahku yang kelihatan terang banget. Jelas saja paling terang karena papa sudah menyuruh orang untuk mengganti plus memasang lampu baru di setiap sudut rumah itu sewaktu kami pertama pindah, terutama di bagian taman kecil di depan rumah itu. Taman yang sekarang menjadi tempat favorit kami jika sedang berkumpul. Lalu, ketika aku masih memandangi rumahku itu dari warung Bang Junet, tiba-tiba... 


     Deeepp!! 


     Semua lampu rumahku mati!

     Seketika aku kaget banget. Aku melihat rumah-rumah lain yang masih terang benderang dengan bingung. Tapi, membayangkan Kak Joy, Kak Vivi dan Kak Sharon yang berteriak-teriak ketakutan karena gelap membuat rasa kagetku seketika berubah menjadi rasa panik luar biasa. Aku cepat-cepat berlari menuju rumah. Buru-buru membuka gerbang yang sebelumnya memang nggak aku kunci. Mengambil batu, mengantonginya untuk berjaga-jaga, lalu lari lagi menuju pintu dan hendak membuka pintu itu, tapi... 

     Cklek! Cklek!

     Terkunci!

     Cklek! Cklek! Aku masih berusaha membuka pintu dan memastikan jika pintu itu benar-benar dikunci dari dalam, bukannya macet atau apa, sebelum akhirnya menggedor-gedornya dengan nggak sabaran.

     Dug! Dug! Dug!

      “Kak! Mbok Tuti! Kenapa pintunya dikunci sih?” seruku sambil menggedor-gedor pintu. Perasaan cemas sudah benar-benar menguasaiku. Duh, jangan-jangan bener ada maling lagi.

     Dug! Dug!  

     “Buka doong!”

     Aku masih menggedor-gedor pintu ketika terdengar suara seperti suara ledakan akibat sesuatu yang jatuh dari atas, keras banget, membuat perasaan panik jelas-jelas makin menghampiriku. Aku semakin menggedor-gedor pintu dengan nggak sabaran. “Kak! Kak! Mbok! Ada apa?! Buka dong! Kenapa di kunci sih? Kalian nggak papa kan?! Suara apa barusan?!” seruku makin keras dan makin menekan-nekan handel pintu sambil sesekali mendobrak lemah. Aku terus begitu sampai akhirnya, terdengarlah suara berat seorang cowok yang entah kapan tahu-tahu sudah ada di belakangku, dan menyuruhku untuk minggir.

     “Minggir!”

     “Eh?”

     Aku melihat cowok yang aku lihat di warung Bang Junet tadi yang ternyata mengikutiku dengan heran. Cowok itu langsung mendobrak pintu begitu aku minggir. Dan dalam dobrakan ketiga, cowok itu pun berhasil membuat pintu itu terbuka lebar untuk kami masuk. Dan aku tanpa sempat bertanya tentang siapa cowok itu atau mengucapkan terima kasih padanya, aku buru-buru masuk ke dalam rumahku untuk mencari teman-temanku serta Mbok Tuti. Cowok itu tentu saja mengikutiku.

     “Gelap,” cowok itu bergumam.

     Yang aku lihat pertama kali begitu masuk memang gelap total. Aku sampai nggak bisa melihat apapun begitu masuk ke dalam rumah. Nggak bisa juga melihat lemari di ruang depan yang biasanya menyimpan beberapa senter. Makanya, dengan tertatih-tatih dan susah payah, aku meraba-raba dinding untuk mencari lemari itu dan mengambil senter itu dan menyalakannya. Saat itu terdengar suara Mbok Tuti yang memanggilku dari ujung tangga pertama.

     “Nooooonn,” aku langsung menyenterinya untuk melihat lebih jelas. Lalu melihat Mbok Tuti yang sedang meringkuk seperti orang ketakutan. Tubuhnya tampak gemetaran. Membuatku nggak urung jadi khawatir. Mbok Tuti kenapa sih? Saat itu tanpa sadar aku sudah saling berpandangan dengan cowok itu. Cuma beberapa detik.

     Lalu setelahnya cepat-cepat aku menghampiri Mbok Tuti, tapi... Baru beberapa langkah aku berjalan tiba-tiba aku merasa aku sudah menginjak sesuatu. Sesuatu seperti pecahan kaca tipis yang berserak-serak. Aku menyenteri lantai, dan seketika tahu apa yang menyebabkan ledakan keras yang aku dengar tadi saat di luar. Ternyata ini. Ternyata lampu gantung yang jatuh dari atas. Pantas saja ledakannya keras banget. Tapi, kenapa bisa jatuh, ya?

     Untuk sementara aku mengabaikan lampu itu lalu segera menghampiri Mbok Tuti, dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi di sini.

     “Ada hantu Non, di sini!” Mbok Tuti menjawab sedikit histeris. “Dia yang bikin lampu itu jatuh, Non!” lanjutnya.

     Aku nggak tahu harus berekspresi seperti apa. Antara kaget dan nggak percaya mendengar omongan Mbok Tuti itu. “Masa sih, Mbok? Gimana kejadiannya?” tanyaku.

     Tapi belum sempat aku mendengar cerita Mbok Tuti, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan Kak Joy, Kak Vivi dan Kak Sharon dari lantai dua. Buru-buru aku membantu Mbok Tuti untuk berdiri. Lalu dengan tergopoh-gopoh segera berlari menuju tempat suara teriakan tadi berasal. Aku mengikuti langkah cowok yang tahu-tahu sudah berlari duluan sambil memegang senter.

     Sampai akhirnya kami sampai di ujung lorong kamarku yang ternyata lebih gelap daripada ruangan lain. Lalu aku melihat teman-temanku yang tampak kaget sekaligus senang melihat kedatangan kami.

     “Lisa!” mereka berteriak, tapi nggak bergerak menuju ke arah kami bertiga, seolah mereka ketakutan pada sesuatu. “Lisa, tolong kita, Lis...,” kata mereka.

     Aku bingung. Pasalnya aku nggak melihat sesuatu yang mengancam mereka itu. Aku ingin bertanya. Tapi, lagi-lagi, belum sempat aku bertanya, ternyata cowok itu sudah keburu mengarahkan senternya pada sesuatu, atau seseorang, atau sesosok, yang ternyata sudah sedari tadi berdiri di depan teman-temanku. Aku kaget melihat mukanya yang pucat luar biasa. Bajunya berwarna hitam-hitam. Rambutnya acak-acakan dan memakai topi kecil yang kayaknya sama seperti yang dipakai Om Pelukis kenalan ayah waktu itu. Dan di tangannya, sosok itu memegang sebuah kuas.

     Aku tertegun. Apa dia ya? Sosok yang selama ini mengganggu dan membuat rumah ini jadi angker?

     Sosok itu terus melihat teman-temanku dengan wajahnya yang mengerikan.

     “Siapa kamu?” tiba-tiba kudengar cowok yang masih belum aku tahu namanya itu bersuara. “Jangan ganggu kami,” lanjutnya.

     Sosok itu masih diam mematung. Nggak ketakutan sedikitpun atau bergerak untuk pergi. Dia malah berbalik mamandang cowok yang di sebelahku. Lalu perlahan-lahan mendekat ke arah kami sambil terus memperlihatkan wajah pucat mengerikannya itu.

     Kami berjalan mundur saat sosok itu mendekat.

     “Mau apa dia, Non?” Mbok Tuti yang sedari tadi diam ketakutan sepertinya makin ketakutan melihat sosok itu makin dekat. Wanita itu bersembunyi di belakang punggungku, yang mulai ketakutan juga, sambil menarik-narik tanganku seperti anak kecil. Sedangkan aku sendiri malah terus terfokus pada sosok itu sambil berseru, “Jangan mendekat! Jangan mendekat! Pergi kamu!” 

     Lalu, tiba-tiba aku ingat pada batu yang aku kantongi tadi untuk berjaga-jaga. Dan dengan bodoh dan nggak berpikir terlebih dulu, aku reflek melempari sosok itu dengan batu karena saking ketakutannya. Lalu, hal yang nggak terduga pun terjadi.

     “Aduh!”

     Tiba-tiba sosok itu berteriak, membuat kami semua seketika melongo dan nggak percaya. Apa sih itu tadi? Kenapa bisa ada hantu yang berteriak saat dilempari batu? Apa jangan-jangan...

     “Wah, hantu gadungan!” seru Kak Vivi to the point.

     Tiba-tiba sosok itu mencoba kabur saat kami semua masih diam mencerna apa yang terjadi. Dia mendorongku, berlari menuruni tangga menuju lantai bawah, dan akan benar-benar kabur kalau saja nggak ada cowok yang langsung mengejarnya dan meringkusnya saat itu. 

     Sedangkan aku, tanpa buang-buang waktu lagi buru-buru aku menghubungi polisi.


• • •


Aku melihat hantu gadungan yang sedang digiring polisi menuju mobil dari beranda rumah dengan hati masih sedikit dongkol. Masih nggak percaya pada apa yang terjadi padaku dan teman-temanku malam ini. Masih merasa kalau aku sedang bermimpi.

     Tetangga-tetangga mulai berkerumun di halaman dan melihat secara langsung hantu yang dulu sudah menakut-nakuti mereka, yang ternyata Cuma seorang tunawisma. Tu-na-wis-ma. Dasar! Bisa-bisanya aku takut banget begitu. Sampai-sampai nggak sadar kalau sedari awal sosok itu memang sedikit aneh. Mana ada hantu yang doyan jalan kaki? Setahuku, hantu itu ‘kan nggak mau repot berjalan sambil menginjak tanah. Hantu itu lebih suka kalau jalannya sambil melayang.

     “Lis,” tiba-tiba Kak Joy mencolek pundakku. “Kemana cowok ganteng yang tadi sama elo?” lanjutnya bertanya, membuat aku seketika bingung.

     Cowok? Cowok yang tadi menolong kami? Oh, iya, kemana dia ya? Aku harus mengucapkan banyak banget terima kasih pada cowok itu.

     Seketika aku melihat-lihat di halaman mencari cowok yang tadi bersamaku, yang tahu-tahu menghilang. Tapi yang ada malah orang-orang yang sudah setengah aku kenal sebagai tetangga-tetanggaku. Nggak ada cowok yang tadi menolong kami. Dia sudah benar-benar pergi, atau... mungkin juga kembali ke warung Bang Junet, ya?

     Nggak mau banyak bertanya-tanya aku langsung lari mendatangi warung Bang Junet untuk memastikan. Dan memang benar banget kalau cowok itu ada di sana. Cowok itu sepertinya masih ingin menghabiskan nasi goreng pesanannya, yang sebelumnya belum habis karena mau menolongku. Buru-buru aku menghampirinya dan mengucapkan terima kasih.

     “Hai, kak,” sapaku untuk memulai.

     Cowok itu nggak kaget sama sekali melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Mungkin, karena dia sudah mengira sebelumnya. Cowok itu malah tersenyum lebar dan menjawab sapaanku dengan ramah. “Hai. Kenapa, dik?”

     “Gue... Gue kesini mau bilang makasih, sekaligus maaf.”

     “Oooh, sama-sama. Tapi, gue nggak ngerti, lo minta maaf buat apa coba?”

     “Yah, karena jujur aja gue sempat ngira kakak itu orang jahat tadi. Abisnya kakak ngeliatin gue segitunya sih.”

     “Hahaha, gitu ya? Maaf deh. Abis gue udah lama penasaran sama cewek yang tinggal di situ.”

     “Oh, ya? Kenapa?”

     “Gue salut aja sama keberaniannya dia tinggal di rumah angker sendirian.”

     “Ah, nggak sendirian kok. Masih ada Mbok Tuti.”

     “Tapi dia nggak selalu ada sama elo, ‘kan?”

     “Emn, iya sih. Kamar gue sama kamar dia kan agak jauh.”

     “Nah, itu maksud gue. Oh, ya, nama lo Lisa, ‘kan? Panggil aja gue Reza.”

     “Kak Reza. Kalau gitu salam kenal deh, kak.”

     “Ya, salam kenal.”


Komentar