[CERPEN] Jessica?

 Tutup mata kamu dan bayangkan seseorang sedang berdiri di depanmu secara nyata. Bayangkan wajahnya. Rambutnya. Dan bentuk tubuhnya. Bayangkan juga nama dan kepribadiannya. Bayangkan dia menjadi teman baikmu. Tempat kamu berkeluh kesah.

AKU. Pada kenyataannya, semua orang, dari mulai teman-temanku, kakak-kakakku, termasuk juga orang tuaku, menyebutku Nina Si Anak Bandel bukan tanpa alasan. Aku memang bandel banget garis miring keras kepala. Aku memiliki prinsip tersendiri, terutama dalam soal pergaulan. Yah, bukannya aku hobi bergaul dengan teman yang buruk-buruk sampai-sampai semua orang harus memperingatiku sampai mulut mereka berbusa-busa sih. Justru, mungkin ini lebih buruk kedengarannya buat mereka para orang tua, a-ku berteman dengan siapa saja. 

     Cewek yang dari luar tampak kalem seperti aku ternyata mampu menggaet berbagai macam jenis manusia di sekolah. Dari mulai anak-anak populer kaya tapi cengeng yang Cuma bisa morotin harta orang tuanya, sampai anak-anak yang mengaku dirinya preman jempolan sekolah. Dari anak yang normal sampai anak yang menurut desas desus aneh. Soal desas desus sih, mana peduli aku dengan desas-desus seperti itu. Bagiku, cukup mengetahui jika dia anak manusia, bukan anak penyihir atau makhluk yang bisa mengancam jiwa dan raga, dan juga bisa diajak berteman, itu saja sudah cukup. Koneksi itu penting, ‘yakan? Itu tepatnya prinsipku. 

     Berbeda dengan kedua kakakku yang kembar itu, Tara dan Tari, yang Cuma mau bergaul dengan anak-anak dari kalangan borjuis saja. Beruntunglah mereka berdua memiliki wajah yang cantik dan juga termasuk anak yang cukup populer di sekolah kami. Jadi sah-sah saja jika keduanya hanya mau bergaul dengan anak-anak dari kalangan borjuis atau kalangan manapun yang mereka mau. Tidak ada yang protes. 

     “Nin, kamu udah paham?” 

     Aku menoleh pada Marti dengan bingung hari itu. Cewek itu menatapku dengan matanya yang bulat lebar disertai kedua alis terangkat. Bibirnya mungil, tipis, sedikit maju karena merengut. Rambutnya hitam bergelombang di ikat dua dengan poni rata. Dengan bulu mata lentik dan tubuh pendek, cewek itu persis seperti cewek-cewek loli yang baru saja keluar dari komik-komik Jepang. Cewek manis nan imut. Tetapi sayang, cewek itu adalah salah satu dari anak yang disebut-sebut sebagai anak aneh oleh satu sekolah. Sekaligus yang paling dijauhi. 

     Aku tidak tahu alasannya mengapa Marti menjadi anak yang paling dijauhi sekaligus anak yang paling aneh di sekolah. Bahkan teman-temanku yang lain, bukan Marti, dan bahkan kakak-kakakku sudah berulang kali memperingatiku untuk tidak dekat-dekat dengan cewek itu. Tetapi aku tetap saja bandel. Marti itu lebih aneh dari semua anak aneh yang ada di sekolah ini tahu gak? Ibarat dikata, Marti adalah ratunya anak-anak aneh. Padahal menurutku, Marti justru yang paling normal di antara semua anak yang disebut-sebut aneh itu. 

     Cewek itu tidak seaneh Ditho, yang diam-diam hobi berdandan seperti cewek ketika di rumah, berita ini aku dengar dari teman dekatnya sendiri yang dulu pernah tidak sengaja memergoki Ditho ketika tengah berdandan. Atau Sisi, yang lebih hobi mengoleksi kecoa ketimbang binatang lainnya yang jauh lebih lucu dan menggemaskan (Sisi ini memang beda banget dari cewek kebanyakan yang justru akan langsung menjerit-jerit begitu dihadapkan dengan kecoa). 

     Jadi Kesimpulannya, Marti itu normal banget di mataku setidaknya, sebelum hari itu. 

     Iya, sebelum–hari–itu. Sebelum cewek itu tiba-tiba menyebut-nyebut soal teman khayalan di depanku. 

     “Nggak. Aku nggak paham. Maksud kamu soal teman khayalan itu apa?" tanyaku. 

     Kami berdua baru saja melewati gang yang cukup sempit menuju rumah. Kebetulan banget rumah kami searah, dan fakta ini aku dapat setelah aku kenal dekat dengan Marti. 

     Marti mengangguk-angguk semangat lalu menjelaskan lagi, “Iya. Jadi namanya Jessica, nama umum sih. Dia itu semacam teman yang bisa kita panggil-panggil sesuka hati. Dan Cuma kita yang bisa lihat, orang lain nggak. Keren kan?” kata Marti membuat alis mataku naik. Apanya yang keren coba? 

     “Kayak hantu, dong?” simpulku. 

     Marti terdiam kali itu sebelum akhirnya berkata, “Kayaknya... bukan deh. Jessica itu bukan hantu. Dia Cuma khayalan yang jadi kenyataan, tahu?” 

     “Tapi, kedengarannya sama aja tuh buat aku,” kataku lagi keras kepala. Marti cemberut, mungkin dia merasa percuma saja sudah menjelaskan panjang lebar padaku namun hasilnya tetap salah. 

     “Yaudah. Terserah kamu deh, Nin,” kata cewek itu. 

     Beberapa saat hening setelah Marti mengatakan kata yang terakhir kali. Hanya terdengar suara sepatu kami yang menapak di jalan beraspal, sebelum akhirnya aku kepikiran akan suatu hal. 

     “Tapi, Mar, biasanya orang yang bisa lihat hantu itu indigo, bener nggak? Sedangkan kita ini kan Cuma orang biasa,” aku bertanya lagi. 

     “Eh, gak kok. orang biasa juga bisa kok manggil. Aku punya caranya. Ada di Flashdisk,” jawab Marti. 

     Setelahnya, cewek itu berhenti berjalan dan aku mengikutinya. Aku melihat cewek itu mengeluarkan Flashdisk dari dalam tas, menyerahkannnya padaku, dan tak urung, aku pun menjadi penasaran banget. 

     “Nah, di dalam flashdisk itu ada tata cara memanggil Jessica, Nin.”

Dan begitulah akhirnya aku mengenal Jessica dari Marti si ratu anak aneh di sekolahku. Aku tidak bisa menampik rasa penasaranku waktu itu. Aku ingat, hari itu, sesampainya aku di rumahku, aku yang sungguhan penasaran dengan perkataan Marti langsung mengurung diri di dalam kamar. Kakak-kakakku yang biasanya selalu main ke kamarku pun bahkan langsung aku usir saking tidak ingin diganggu. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentangku waktu itu. Aku mengunci pintu tidak ingin mereka tahu apa yang aku lakukan.

Tutup mata kamu dan bayangkan seseorang sedang berdiri di depanmu 
secara nyata. Bayangkan wajahnya. Rambutnya. Dan bentuk tubuhnya. 
Bayangkan juga nama dan kepribadiannya. 
Bayangkan dia menjadi teman baikmu. Tempat kamu 
berkeluh kesah.

Sampai seminggu kemudian, setelah aku berkali-kali mencoba dan gagal, akhirnya untuk pertama kalinya aku melihat Jessicaku sendiri. Aku melihat sosoknya yang berwujud perempuan tinggi dengan sangat takjub, dan bengong, dan tidak percaya, dan iri, banget. Aku tidak menyangka jika apa yang dibilang Marti itu benar-benar ada. Sesosok perempuan dengan tubuh tinggi dan langsing berdiri di hadapanku. Wajahnya cantik, rambutnya pirang, serta baju putih yang dia kenakan membuatnya seperti malaikat. Tubuhnya bersinar-sinar persis seperti apa yang aku bayangkan selama ini. Dan seperti penampakannya itu, aku menamainya Angel. 

     “Hai,” Angel menyapaku yang masih bengong di tempatku. Senyum cewek, eh perempuan, eh sosok atau apalah, itu sangat lebar, dia menatapku dari dekat meja rias dan aku bisa melihat tidak ada sedikitpun bayangannya di cermin. Meski pada kenyataannya aku mampu melihatnya dengan jelas di sini. 

     “H-hai,” aku menjawab tergagap. Masih belum menerima kenyataan yang terjadi. 

     “Nah, mulai sekarang aku bakal jadi temen kamu, ya? Tugas aku nemenin kamu kemanapun sama jadi tempat curhat? Itusih gampang. Sekarang kamu mau curhat apa? Ayo,” katanya lagi sedangkan aku masih diam. Beberapa menit aku terdiam dan dia mulai kesal. “Hei!” 

     “Eh, ya?” 

     “Kamu mau curhat apa?” Angel bertanya sambil tangannya bersedekap, kesal. 

     “Curhat? Hm, kayaknya nggak sekarang deh. Aku mau ke rumah Marti. Kamu mau ikut nggak?” tanyaku, dan jawaban Anggel sudah pasti, “Jelas dong.” 

     Setelah itu aku keluar dari kamarku diikuti Angel. 

     Baru saja aku membuka pintu dan aku langsung kaget mendapati kakak-kakakku ternyata sedang menguping! Tubuhku kaku seperti patung sewaktu Kak Tara dan Kak Tari menatapku dengan pandangan menyelidik. 

     “Kamu ngomong sama siapa, Nin?” tanya Kak Tara sambil melongok-longok ke dalam kamarku. Seketika aku merasa keringat dingin, tetapi aku mencoba bersikap biasa saja berharap mereka berdua tidak curiga. 

     “Ngomong sama siapa? Nggak ada. Apa sih kak? Orang nggak ada siapa-siapa di kamar.” 

     “Tapi tadi kita denger kamu ngomong sama seseorang. Masa sih nggak ada siapa-siapa?” 

     “Beneran nggak ada kak. Udah deh.” 

     Aku buru-buru kabur menghindari kakak-kakakku. Tetapi sebelum itu, aku masih sempat mendengar Kak Tari berkata; 

     “Ini pasti kamu jadi aneh karena ketularan Marti deh. Udah berapa kali kakak bilang, jangan dekat-dekat sama cewek itu. Kamu sih bandel.” 

• • •

Di Rumah Marti

Di rumah Marti, aku melihat-lihat dekorasi ruang tamunya dengan pandangan takjub luar biasa. Yah, meski aku sering lewat di depan rumah cewek itu, tapi aku akui, baru kali ini aku mau menginjakkan kakiku ke dalamnya. Itu tidak heran mengingat sebelum sebelumnya aku pernah mengatakan pada diriku sendiri; walaupun teman-temanku banyak dan ada di mana-mana, tetapi tetap saja untuk urusan bertamu, aku tidak mau sembarangan. Salah-salah bukannya main, aku malah jadi korban tindak kejahilan teman-temanku yang sebagian besar memang terkenal dengan reputasi kebandelannya, jelas lebih bandel dari aku. Aku tidak mau sembarangan bertamu jika bukan benar-benar teman dekat. Dan mengingat Marti ini sebelumnya, dan mungkin sampai sekarang pun, bukan termasuk temanku yang paling dekat, jadi jelaslah aku ogah untuk bertamu ke rumah cewek itu jika bukan karena urusan penting. 

     Untuk sekarang aku menyebut urusanku penting karena ini menyangkut masa depan Angel. Eh, bukan masa depan Angel juga, melainkan masa depanku sendiri. Karena sebenarnya, setelah aku berhasil memanggil Angel dalam artian Jessica, jujur, sekarang aku masih belum tahu cara menghilangkannya. Tidak ada tutorial cara menghilangkan Jessica di flashdisk Marti dan aku rencananya mau bertanya langsung pada cewek itu. (Asal tahu saja, beberapa menit bersama Angel sudah membuatku merasa tidak betah. Sepanjang jalan, sosok itu selalu mengoceh dan membuat kepalaku pusing. Dan aku tidak bakalan mau terus-terusan mendengar ocehannya itu selamanya). 

     Yah, salahku juga yang membayangkan sosok cerewet seperti Angel untuk menjadi temanku. 

     Aku masih melihat ruang tamu Marti dengan takjub. Aku mengira, mungkin saja keluarga Marti itu sangat menggilai kaca, atau mungkin mereka itu Cuma keluarga yang narsis banget sampai-sampai mereka menginginkan ruangan yang bisa digunakan untuk mengaca setiap jam, setiap menit atau bahkan setiap detiknya sekalipun. Seluruh ruangan ini, semuanya, dipenuhi dengan benda-benda yang terbuat dari kaca. Di dindingnya cermin-cermin yang tingginya hampir menyamai dinding menempel. 

     “Jadi, kamu udah berhasil ya Nin?”  Marti berkata antusias. Cewek itu terlihat dari balik pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tamu sambil membawa minuman. Lalu duduk di depanku dengan penampilan santai, tetapi tidak menghilangkan kesannya yang selalu manis dan imut. Di belakangnya, ini yang membuatku heran sedari tadi, seorang laki-laki tinggi dan ganteng yang baru sekali ini kulihat mengekor. 

     “Iya. Aku nggak menyangka kalau yang kamu bilang itu bener-bener ada, Mar," kataku lalu mengambil minuman. Aku bisa melihat Marti tersenyum bangga, mungkin karena cewek itu senang kata-katanya sudah terbukti. 

     "Nah, benar kan apa aku bilang? Sekarang kamu percaya kan, Nin?” aku mengangguk. “Kalau gitu, siapa nama jessica kamu?" tanya Marti. 

     “Angel. Ngomong-ngomong, yang di belakang kamu itu Eza ya?” 

     “Iya. Eza. Ganteng, ya?" 

     Aku mengangguk lagi, kali ini sambil tersenyum. Eza ini memang ganteng banget. Wajah dan penampilannya bahkan mengalahkan Sasuke, tokoh anime yang selama ini aku anggap paling ganteng dan paling keren. 

     Aku melihat Marti menatap Angel di belakangku dengan pandangan menyelidik, sebelum akhirnya cewek itu mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti, “Tapi, Nin... hati-hati loh.” 


     “Hati-hati, buat?” tanyaku. Tetapi Marti malah tersenyum misterius kemudian mengambil minuman yang dibuatnya di meja. “Nggak. ini enak banget, cobain deh.” Katanya berusaha mengalihkan topik.

Beberapa hari berlalu dan aku sudah melupakan senyum misterius Marti. Aku juga sudah mulai terbiasa dengan Angel yang selalu di sampingku setelah kemarin lupa menanyakan cara menghilangkannya pada Marti. 


     Soal Marti, cewek itu tiba-tiba menghilang dari peredaran. Maksudku peredaran adalah, cewek itu tidak aku temukan di sekolah atau di manapun. Rumahnya juga aku lihat sepi. 


     Malam ini aku melihat langit kosong banget. Tidak ada bintang dan juga tidak ada bulan. Aku melihatnya dari bingkai jendela. Aku sulit tertidur setelah seharian ini aku merasakan firasat buruk namun kenyataan tidak ada yang terjadi. Aku menutup jendela kamarku dan berjalan menuju kasur. Kupaksakan untuk tidur. Aku berbaring, sekilas aku melihat Angel mengatakan kalimat selamat tidur padaku. 

     “Selamat tidur, Nina.” 

     Lalu aku mengantuk dan tertidur. 

     Saat aku terbangun, aku menyesal karena melihat tubuhku sudah di ambil alih oleh Angel. 


Komentar