[CERPEN] KEMBAR

 Breaking News:

Seorang siswi SMA Dirmajaya ditemukan bersimbah darah di lab komputer pagi ini.



ARGA
Aku benar-benar tidak akan percaya jika tidak melihatnya secara langsung. Itu Elena. Cewek yang aku dan Erga taksir akhir-akhir ini. Kini cewek itu tergeletak dengan kepala bersimbah darah di dekat tumpukan komputer rusak di ruang lab komputer. Matanya terpejam. Aku tidak tahu apa cewek itu masih hidup atau sudah... Atau sudah meninggal.

     Tiba-tiba emosiku naik lagi. Aku tidak terima cewek itu diperlakukan dengan cara yang mengenaskan begitu. Aku tidak bisa membayangkan betapa ketakutannya cewek itu tadi malam. Aku sangat menyesali mengapa aku dan Erga lebih memilih pulang untuk menemui Papa, yang baru pulang dari Paris, kemarin dibanding mengantar cewek itu seperti biasanya. 

     Aku melihat anak-anak yang kemungkinan adalah tersangka yang dikumpulkan dalam satu ruangan. Ada Haris, si mantan pacar Elena yang selama ini aku tahu masih sering memohon-mohon pada cewek itu untuk bisa berbaikan lagi. Lalu si Santy yang selama ini selalu tidak suka Elena dekat-dekat dengan kami berdua, Aku dan Erga. Via Si ketua Cheerleaders yang dari dulu selalu tidak suka Elena masuk timnya, namun berkat dukungan dari anggota lain, Elena akhirnya bisa masuk klub itu juga. Via juga terlihat terakhir kali bersama Elena di ruang klub. Dan Pak Satpam, tidak jelas orang itu dipanggil untuk sekadar menjadi saksi atau justru tersangka juga.

     Iya, semua anak-anak itu memang pantas menjadi tersangka utama penyerangan Elena tadi sore. Mereka mempunyai alasan untuk mencelakai Elena. Namun, harusnya masih ada satu lagi yang bersama mereka di tempat ini. Yaitu Diandra, si saudara kembar Elena yang selama ini iri pada Elena yang lebih segalanya dibandingkan dia. Aku heran mengapa dia tidak berada di sini. Aku yakin pasti dia melakukan sesuatu untuk mengelabui para polisi hingga dia tidak ikut menjadi tersangka. Diandra yang licik. Aku pasti menghajar cewek itu begitu keluar dari ruangan ini.

     “Jadi, korban terakhir kali terlihat di ruang klub Cheerleaders bersama si ketua? Darimana kamu tahu?” tanya Pak Inspektur padaku, yang sedari tadi sibuk mengabsen banyak tersangka kasus Elena ini dengan hati geram.

     “Iya, Pak! Saya mendengarnya dari Wati, anggota klub cheerleaders juga,” jawabku tegas.

     Pak Inspektur tampak tertarik pada satu nama baru yang kusebutkan tadi. Matanya tampak berbinar-binar saat mendengarnya, atau... Mata berbinar-binar itu mungkin karena hal lain? “Wah, wah, kelihatannya si Wati ini dekat sekali dengan kamu sampai-sampai dia mau memberikan informasi secara cuma-cuma, ya? Atau jangan-jangan, kamu memang dekat dengan semua anggota Cheerleaders juga?” tanyanya lagi.

     Aku melihat Pak Inspektur dengan pandangan polos sebelum memberikan jawaban jujur, “Benar.” Dan berharap dengan jawaban-jawaban jujur itu aku dapat segera keluar dari ruangan ini. Aku tidak sabar untuk cepat-cepat menghajar si sialan Diandra itu.

     Pak Inspektur mengangguk-angguk masih dengan gaya santainya, mungkin dia sudah tidak heran lagi mengingat betapa cepatnya dia menemukan kami berdua di antara ribuan murid tadinya.  Tidak usah bertanya hal itu disebabkan oleh apa. Tentu saja karena banyaknya orang yang mengenal dan dikenal kami.

     “Oke. Seberapa dekat kalian berdua dengan korban?” tanya Pak Inspektur lagi, kali ini bukan hanya ditujukan padaku melainkan juga pada Erga.

     Erga menjawab, “Sangat dekat. Biasanya kami yang mengantar Elen pulang. Tapi karena kemarin kami ada urusan, kami terpaksa harus pulang duluan. Bapak bisa menanyakannya langsung pada Pak Satpam,” Erga menunjuk Pak Satpam yang duduk di samping Via dengan dagunya. Sedangkan pak satpam langsung mengangguk membenarkan ucapan Erga, “Kami juga sudah meminta izin pada Elen sebelum kami pergi,”

     “Urusan apa?”

     “Papa kami baru pulang dari Paris dan menyuruh kami cepat-cepat menemuinya,” kali ini aku yang menjawab pertanyaan Pak Inspektur dengan cepat.

     Pak Inspektur terdiam sejenak sebelum memutuskan. “Oke. Kalian berdua boleh keluar.”

     Aku menghela napas lega begitu mendengar kalimat itu keluar dari mulut Pak Inspektur. Aku buru-buru bangkit dan mengajak Erga untuk keluar dari ruangan menyesakkan itu, lalu berjalan cepat menuju kelas 11-IPA-1. Kelas Diandra. Aku benar-benar tidak sabar untuk menghajar si cewek sialan itu.

     BRAKK!! Aku tidak peduli dengan teriakan-teriakan kaget setelah dobrakan kerasku saat membuka pintu. Aku juga bahkan tidak mau peduli seandainya ada orang yang mati terkena serangan jantung akibat dobrakan kerasku itu, syukur memang tidak ada orang yang punya riwayat sakit jantung di kelas itu. Bu Wati, guru yang seharusnya mengajar dan yang mempunyai penyakit lemah jantung beruntung sekali tidak masuk. Namun sekali lagi aku tidak peduli, yang aku pedulikan hanya dimana Diandra.

     Mataku menatap nyalang satu-persatu wajah penghuni kelas XI-IPA-1 mencari wajah Diandra. Seharusnya itu tidak sulit mengingat cewek itu adalah satu-satunya orang di sekolah ini yang hobi sekali memakai pita-pita kado berwarna terang sebagai hiasan rambut dan satu dari sedikit orang yang memakai kacamata. Harusnya mudah. Namun nyatanya aku sama sekali tidak melihat wajah cewek itu di kelas ini. Cewek itu tidak ada di kelas!

     Aku semakin geram. Sialan. Sembunyi dimana cewek itu?!

     “MANA DIANDRA?!!” tanyaku pada seluruh penghuni kelas. 

     Namun karena tidak ada yang mau menjawab, aku putuskan untuk menghampiri cowok yang tampak lemah yang duduk tidak jauh dariku. Aku melihat cowok itu langsung pura-pura sibuk mengerjakan tugas saat sadar bahwa aku mendekatinya.

     Aku menarik kerah cowok itu kuat-kuat sampai membuatnya terpaksa harus berdiri supaya tidak tercekik. Lalu aku bertanya padanya tajam, “Mana Diandra?!”

     Cowok itu menjawab susah payah, “Ng-nggak tau, kak.”

     “LO TEMEN DEKETNYA KAN?! JANGAN KIRA GUE NGGAK TAHU!! DIMANA DIANDRA?!” aku semakin menarik kerah cowok itu, membuatnya semakin tercekik.

     “A-aku beneran—“

     “Kenapa ini?”

     Dan ucapan cowok itu terpotong oleh satu suara orang yang baru masuk. Aku tersenyum lebar menyadari suara siapa itu. Melihat ke pintu dan sosok Diandra berdiri di sana sambil mendekap erat-erat buku paket Bahasa Inggris. Cewek itu menguncir rambutnya dengan pita berwarna kuning cerah dan matanya masih ditutupi kacamata cupu.

     Aku melepas cengkeramanku pada kerah cowok tadi dan berganti menghampiri Diandra. Dan tanpa ba-bi-bu, aku langsung memegang lehernya sambil membuatnya terdorong ke dinding. Membuat cewek itu tercekik.

     “Jawab kalo lo yang udah ngelakuin hal itu sama Elena!” kataku menekannya untuk menjawab jujur. Namun cewek itu tetap bersikap tenang dan menjawab kalau bukan dia pelakunya.

     “Bukan,” katanya yang membuatku semakin marah.

     Aku semakin mencekik lehernya hingga cewek itu megap-megap kesulitan bernapas. Wajah pura-pura polosnya semakin membuatku geram saja.

     “JAWAB KALO LO YANG UDAH NYELAKAIN ELENA?!” tanyaku lagi kali ini sambil berteriak. Namun cewek itu tetap menjawab, “Bu-bukan,” dengan susah payah.

     Aku hampir semakin mencekiknya namun tanganku mendadak berhenti saat mendengar suara Erga yang mencegah.

     “Arga cukup.”

     Aku menatap saudara kembarku yang sedari tadi hanya diam melihat apa yang aku lakukan itu dengan bingung. Dia tampak memberikan kode melalui lirikan mata, membuat aku langsung mengerti dan melepaskan cekikanku pada leher Diandra. Aku melihat cewek itu yang langsung terbatuk-batuk begitu aku lepaskan. Kemudian aku memperhatikan kelas yang ternyata sudah ramai dipenuhi orang-orang yang sedang menonton.

     Lalu tidak lama, aku melihat Pak Inspektur yang menghampiri kami bersama dua polisi di belakangnya. Aku tahu dia tertarik melihat kerumunan yang ada di kelas ini.

     “Ada apa ini?” tanya Pak Inspektur sebelum matanya menangkapku yang berdiri di depan Diandra yang masih terbatuk-batuk, lalu dia menatapku curiga. “Apa yang kamu lakukan pada gadis itu?!” tanyanya tajam.

     “Aaa—“ aku menjawab tergagap kemudian menggaruk belakang kepala seperti maling yang tertangkap basah karena tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk menjelaskan apa yang aku lakukan pada Pak Inspektur.

     Namun, Erga yang memang saudara terbaik yang aku punya, membantuku membuat alasan.

     “Ah, tidak apa-apa Pak Inspektur. Adik saya hanya sedang bermain-main.”

     Pak Inspektur menatap Diandra mencari pembenaran.

     “Benar begitu?”

     Aku menatap Diandra dengan hati was-was berpikir cewek itu akan mengadu. Namun untunglah hal itu tidak dia lakukan. Mungkin karena masih shock dengan apa yang terjadi, dengan takut-takut cewek itu mengangguk, membuat aku sangat lega dibuatnya.

     Pak Inspektur menatap kami bertiga bergantian selama beberapa saat sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan kelas ini.

     Aku melihat Erga buru-buru mengejar Pak Inspektur, dan kemudian mengatakan hal yang membuatku terkejut juga.

     “Pak Inspektur, izinkan kami membantu.”


ERGA
“Kejadian sepertinya terjadi pada pukul 18.30 WIB setelah satpam mengunci gerbang. Jadi, ada kemungkinan juga korban di sekap terlebih dulu di suatu tempat, dalam hal ini di ruang klub cheerleaders karena dia terakhir kali terlihat di sana. Tetapi mengingat lokasi ditemukannya korban pagi ini, ada kemungkinan juga si korban berhasil kabur dan lari menuju gerbang belakang, gerbang paling dekat, sebelum akhirnya tertangkap lagi oleh si pelaku. Dan pelaku menyeretnya ke lab komputer yang dekat dengan gerbang belakang,” kataku memberikan analisa yang masuk akal pada Pak Inspektur yang masih menatapku dengan pandangan menyelidik. 

     Beberapa menit lalu, bel pulang sekolah terpaksa dibunyikan lebih awal karena pihak sekolah tahu benar, bahwa tidak ada seorangpun yang bisa konsen setelah kejadian yang menimpa Elena hari ini. Semua pasti penasaran dengan kondisi Elena saat ini. Elena yang anak populer diserang di lingkungan sekolah mereka sendiri. Elena yang cantik, baik, rajin dan ramah. Yang membuat aku sempat cekcok dengan saudara kembarku, Arga, kemarin-kemarin bahkan mungkin sampai hari ini demi memperebutkan cewek itu. Elena. Ya, mereka pasti sangat-sangat penasaran dengan keadaan cewek itu dan ingin tahu siapa yang tega berbuat semacam itu terhadap Elena. Sama seperti aku dan Arga sekarang ini. Kami hanya ingin tahu.

     Tapi, kenapa tatapan Pak Inspektur seolah mengatakan bahwa kami ini tidak bisa dipercaya? Seolah kami inilah pelakunya? Dan kami membantu hanya karena ada niatan-niatan lain dalam arti niatan busuk? Tidak sungguh-sungguh? Jujur itu membuat aku sangat frustrasi dan tersinggung. Aku ingin sekali memberontak, ditatap sedemikian rupa oleh Pak Inspektur membuatku mulai jengah. 

     Aku menghela napas, berusaha mati-matian untuk menahan diri agar citra baikku tidak rusak di depan Pak Inspektur dan membuat kesempatanku untuk ikut investigasi ini hilang begitu saja. Aku harus tahu siapa sebenarnya yang melukai Elena. Ha-rus.

     Meski Arga sangat yakin jika Diandralah pelakunya, namun aku tidak mau percaya begitu saja sebelum ada bukti. Harus ada bukti kalau cewek itu yang benar-benar melakukan kejahatan terhadap Elena.

     Aku memandang jauh lorong kelas 11 yang semakin sepi. Kemudian pada gerbang belakang di ujung lorong yang tampak tua dan berkarat dan jarang dibuka. Pohon Mangga yang kata teman-temanku angker terasa kelewat teduh dan terkesan suram. Rumput-rumput yang mulai panjang di sekitarannya yang aku yakini belum sempat dipotong selama beberapa minggu oleh Pak Mamat. Dan membayangkan Elena yang berlari-lari disana semalam dengan wajah ketakutan membuatku lagi-lagi menggertakkan gigi geram. Kenapa cewek itu? Kenapa? 

     Kemudian aku baru sadar jika sekarang Pak Inspektur masih menatapku. Beliau berkata memuji, namun tidak dengan matanya. “Analisamu bagus juga, nak. Sepertinya kamu lumayan cocok jadi polisi.” 

     Aku tersenyum demi sopan santun.

     Pak Inspektur lalu menatap dua polisi yang sedari tadi bersamanya. Dia melanjutkan, “Baiklah. Barusan kita sudah memeriksa ruang klub juga ruang lab komputer. Tidak ada salahnya sekarang memeriksa satu lokasi lagi seperti ucapan anak itu, setuju?”

     “Ya. Kurasa analisanya memang masuk akal, Pak.”

     “Saya rasa juga begitu.

     “Kalau begitu, kita pergi sekarang. Kalian berdua juga harus ikut,” kata Pak Inspektur dengan nada tegas dan berwibawa. Kemudian setelahnya, segera bergerak menuju gerbang belakang bersama dua polisi. Tidak lupa aku dan Arga dengan senang hati mengekor di belakang mereka sesuai perintah. Kami harap kami benar-benar bisa ikut membantu dalam investigasi kali ini.


• • •


“AH, KETEMU!” 


     Teriakan Arga yang sepertinya menemukan petunjuk baru memancing kami semua untuk buru-buru mendekat. Kami penasaran dengan apa yang adik kembarku itu temukan kali ini. Sebuah petunjuk yang akan membuat kasus ini lebih terang.

     Sebelumnya, sama sekali tidak aku sangka bahwa analisaku yang awalnya hanya tebakan-tebakan semata itu ternyata memang tepat sekali. Investigasi baru berjalan beberapa menit saat kami menemukan sebuah jejak sepatu di antara rerumputan-rerumputan di sekitar gerbang. Beruntung cuaca kemarin sampai hari ini sangat cerah, hingga kami tidak perlu merasa cemas petunjuk-petunjuk itu akan hilang jika seandainya hujan turun. Sebuah jejak sepatu yang ukurannya kecil seperti jejak sepatu milik cewek membuat beberapa titik rumput-rumput menjadi rusak (Arga yakin sekali bahwa jejak sepatu itu milik Diandra, namun aku masih setengah yakin).

     Aku sampai di tempat Arga. Ingin melihat apa yang saudara kembarku itu temukan sebelum mataku tidak sengaja melihat Pak Inspektur yang masih fokus pada pohon mangga angker. Ternyata tidak semua menghampir kemari. Pak Inspektur sepertinya menemukan sesuatu yang menarik dalam pohon mangga itu hingga membuatnya tertahan. Jujur itu membuatku sangat sangat penasaran, namun tidak lebih penasaran dibanding apa yang ditemukan Arga sekarang ini.

     “Apanya yang ketemu?” kudengar salah satu polisi bertanya pada Arga yang masih berjongkok memunggungi kami. Namun, tidak lama adik kembarku itu berbalik dan menanggapi pertanyaan Pak Polisi itu dengan senyum lebar yang lebih mirip seringai. Dia menunjukkan tangan kanannya, yang sedang  mengapit sebuah benda yang baru dia temukan dengan raut muka bangga berlebihan. Tetapi aku tidak heran melihat benda apa yang dia temukan itu. Sebuah pita kado berwarna kuning cerah yang masih membentuk simpul, seperti habis digunakan untuk mengikat rambut. Dan kami semua yang setiap hari datang ke sekolah ini tahu benar, bahwa hanya ada satu cewek yang masih memakai pita-pita norak begitu sebagai pengikat rambut di jaman sekarang ini. Yaitu Diandra, saudara kembar Elena yang sedari awal Arga curigai. 

     Arga pasti senang sekali melihat kemungkinan kecurigaannya benar itu semakin besar.

     “Pita?” tanya Pak Polisi 2, yang langsung mengamankan pita temuan Arga dalam plastik, yang mendapat jawaban anggukan penuh semangat dari Arga.

     Kemudian aku melihat Arga berkata dengan nada menggebu-gebu, “Betul, Pak! Dan saya tahu siapa pemilik pita itu, Pak! Hanya ada satu cewek yang selalu pake pita kayak begitu ke sekolah, Pak!”

     “Oh ya? Siapa?”

     “Diandra. Cewek yang tadi di kelas 11-IPA-1 yang bersama saya—"

     Sementara Arga berbicara pada Pak polisi, tiba-tiba aku merasa ponsel di sakuku bergetar. Aku buru-buru mengeceknya dan melihat nama Papa terpampang di layar, membuat keningku mengernyit sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan dari Papa itu. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa cemas.

     “Halo,” kataku mulai menyapa.

     “Oh, kami? Masih di sekolah, Pa. Kenapa?”

     “Pulang? Sekarang?” sesaat aku melihat Arga yang masih berkutat dengan dua polisi di depan sana sebelum menjawab, “Oh, oke.”

     Setelah itu, aku memastikan Papa sudah mematikan panggilannya, kemudian memanggil Arga. “Arga, Papa nyuruh pulang nih!”

     Arga menoleh dengan wajah yang tampak kaget luar biasa. “Papa, Er?!” tanyanya memastikan.

     Aku mengangguk. Kemudian berpamitan pada Pak Inspektur dan dua polisi sebelum menyeret Arga agar buru-buru pulang. Karena aku tahu pasti, jika Papa kami paling tidak suka menunggu.


• • •


Tok! Tok! Tok! Aku mengetuk pintu kamar kerja Papa dengan jantung berdegup kencang, cemas. Aku melihat Arga di sebelahku yang sama cemasnya denganku. Tidak biasanya Papa kami yang super sibuk menyuruh kami menemuinya. Papa yang selalu tidak punya waktu untuk menemui kami, walaupun sedang ada di bawah atap rumah yang sama, tiba-tiba meminta untuk bertemu? Harusnya ini menjadi hal yang sedikit luar biasa dan membuat kami senang mengingat betapa jarangnya kami bertemu Papa dalam kurun waktu setahun. Namun, mengingat ulah kami berdua hari ini, dan mengingat betapa banyaknya koneksi Papa di kota ini termasuk juga di sekolah, aku yakin sekali bahwa kali ini Papa menemui kami bukan untuk sekadar ‘temu kangen' semata. Papa pasti berniat membicarakan soal masalah Elena tadi. Dan, ya, aku yakin sekali. Pasti begitu.

     Tidak lama, kami mendengar suara Papa yang menyuruh kami untuk masuk. 

     Sesaat aku berpandangan dengan Arga, sebelum akhirnya tanpa buang waktu lagi aku membuka pintu kamar kerja Papa dengan hati-hati. Dan tepat saat pintu itu terbuka, sebuah buku setebal 700 halaman dilemparkan dari dalam membuat kami reflek menghindar.

     Hap!

     Aku dan Arga memegang jantung kami masing-masing yang masih berdebar-debar karena kaget. Lalu melihat ke dalam kamar Papa dan melihat betapa berantakannya kamar itu dengan wajah yang lebih dari kaget. Dokumen-dokumen, tinta, pensil, pena dan semua alat-alat kerja di meja Papa berserakan di lantai dan meninggalkan meja itu kosong melompong. Vas, lampu, dan buku-buku dalam rak di lempar kemana-mana. Juga ... Foto keluarga kami yang terakhir aku lihat ada di kamar Papa sekarang berpindah kemari dalam keadaan sama seperti benda-benda lain. Tergeletak di lantai dengan bingkainya yang pecah!

     Aku melihat lama foto itu. Hanya ada kami bertiga; Papa, aku dan Arga, yang terlihat serupa tanpa celah dengan baju merah sama serta dua mobil-mobilan yang tidak ada bedanya pula, tanpa Mama. Kami berdua memang tidak pernah melihat Mama sejak lahir. Kami tidak pernah melihat wajah Mama satu kalipun. Setiap kali bertanya pada Papa, bukannya jawaban yang memuaskan rasa penasaran kami, yang ada wajah marah Papalah yang menjadi jawabannya. Sejak saat itu kami menyerah untuk menanyakan apapun soal Mama pada Papa.

     Namun, baru-baru ini aku ingat aku pernah mendengar Bibi Helda, kepala pelayan rumah kami, tidak sengaja mengungkit-ungkit soal Mama yang selingkuh dari Papa saat kami masih bayi. Hal itu membuat Papa marah besar dan kemudian memutuskan berpisah.

     “KALI INI APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN, HAH?!”

     Tiba-tiba Papa berteriak dan membuat kami berdua sontak tersentak. Meski aku sudah menduga Papa pasti akan marah, tetapi aku tidak menyangka kemarahan Papa sampai sebesar ini. Jarang sekali Papa marah pada kami. Papa yang biasanya selalu menyayangi dan memanjakan kami serta menuruti semua kemauan kami setiap kali bertemu, kali ini tampak sangat jauh berbeda. Aku melihat wajah Papa yang berdiri di dekat rak buku dipenuhi emosi berlebihan. Dan diam-diam berpikir, Apa... Selain tahu bahwa kami menjadi salah satu tersangka dalam kasus Elena, Papa juga sudah curiga bahwa sebenarnya kamilah yang mencoba membunuh cewek itu? Sama seperti dua tahun yang lalu, saat kami membunuh Lia, cewek yang juga membuat kami cekcok karena memperebutkannya sewaktu SMP?

     Melihat dari tatapan Papa sepertinya jawabannya adalah iya. Papa pasti sudah bisa menduga semuanya. Bahwa memang kamilah yang hampir membunuh Elena kemarin sore.

     Namun, aku tidak mau menyerah sekarang. Tidak akan dan tidak boleh. Kami berdua sudah sampai sejauh ini dan sudah hampir berhasil mengelabui semua orang; seluruh siswa SMA Dirmajaya, guru-guru juga para polisi. Kali ini pun kami harap kami bisa mengelabui Papa juga. Kami tidak boleh gagal.

     Dengan sisa-sisa kepercayadirianku, aku berusaha keras untuk terus berakting seolah aku tidak tahu apa-apa di depan Papa. Aku lihat Arga juga melakukan hal yang sama.

     “Pa, kami nggak tahu maksud Papa.” 

     Kudengar adik kembarku itu menyela dengan wajah bingung, tidak mengerti, namun justru membuat Papa seketika tertawa keras dan aneh, malah cenderung menakutkan selama beberapa saat. Setelah itu, Papa menatap kami berdua dengan wajah berang khasnya saat sedang dilanda amarah.

     “Nggak tahu?” tanya Papa dengan mata berkilar-kilat menatap kami berdua.

     Sedangkan kami mengangguk, takut-takut.

     “Jangan coba-coba akting di depan Papa kalian! Nggak mempan!” Papa berteriak lagi sambil melempar buku-buku.

     Kami melindungi tubuh kami dari buku-buku tebal yang dilemparkan Papa dengan dua tangan, yang pastinya tidak akan cukup untuk melindungi tubuh kami yang tinggi besar ini. Lalu aku mendengar Papa lanjut berkata lagi;

     “Kalian kira Papa lupa sama perbuatan kalian dua tahun lalu, hah?! Kali ini pun Papa yakin kalian berdua pelakunya! Kali ini Papa nggak mau lagi urus masalah kalian!”

     Seketika wajahku dan wajah Arga langsung pucat, mendengar kata-kata Papa itu membuat tubuh kami seketika menjadi dingin, takut. Apa Papa tidak mau lagi mengurus masalah kami? Apa itu artinya, kami berdua akan benar-benar masuk penjara kali ini? Tidak! Aku tidak mau! Tetapi...

     Aku mengingat-ingat lagi tentang keberhasilan kami tadi mengelabui seluruh orang di sekolah. Membuat aku bisa sedikit bernapas lega. Kami tidak perlu khawatir, benarkan? Aku yakin tadi kami sudah berhasil mengelabui semua orang dan kami berdua pasti baik-baik saja. Sebaliknya, Diandralah yang akan menjadi tersangka utama. Bukan aku dan Arga.

     “Ini salah Papa yang terlalu memanjakan kalian sampai kalian jadi begini. Seharusnya Papa tau kalau Papa nggak bisa besarin kalian dengan mudah,” Papa kembali berkata, kali ini dengan wajah lesu. Namun, aku dengan berani menjawab.

     “Kami emang nggak tahu apa-apa, Pa.”

     “Ya. Papa harap memang begitu.”

Namun tidak lama kami terpaksa harus menelan ludah saat tiba-tiba bel rumah berbunyi kemudian di susul seorang pelayan yang menghampiri Papa dengan takut-takut.

     “Ada apa?” tanya Papa.

     Pelayan itu membungkuk dalam sebelum mengatakan hal yang membuatnya kelihatan resah. “Maaf, Tuan. Ada beberapa polisi yang mencari Den Erga dan Den Arga di bawah,” katanya membuat kami berdua sontak kaget. Apa polisi-polisi itu sudah tahu? Kenapa bisa? Bukannya rencana kami sudah sangat sangat sempurna? Harusnya Diandra bukan kami. Lalu untuk apa polisi-polisi itu datang kemari?

     Papa menatap sinis kami berdua yang gugup, sebelum akhirnya berkata pada pelayan itu untuk menyuruh mereka menunggu. Setelah itu menatap kami berdua lama, menghela napas, dan lanjut berkata, “Pergi,” membuat kami kebingungan.

     “Apa?”

     “Untuk sementara kalian pergi ke vila Papa di Bogor.”

     Kata-kata Papa membuat kami lebih dari lega. Aku tahu Papa tidak akan bisa melihat dua anak kesayangannya masuk penjara. Buru-buru kami mengangguk, dan melaksanakan perintah Papa itu. Kami pergi lewat pintu belakang. Pintu dapur.

     Namun, baru saja membuka pintu, kami langsung dibuat kaget saat Pak Inspektur sudah menunggu kami sambil tangan bersedekap.  Lalu beliau memperlihatkan sebuah kertas pada kami, surat penangkapan.

     Pak Inspektur tersenyum mengejek. “Kalian pikir kalian bisa menipu saya?”

    “Tapi... Tapi...”

    “Dari awal kalianlah yang paling mencurigakan. Kalian sibuk membuat petunjuk-petunjuk palsu sementara kalian lupa menutupi petunjuk-petunjuk yang asli."


DIANDRA
Aku lebih-lebih tidak menyangka jika pelakunya itu Arga dan Erga. Pasalnya, selama ini mereka kelihatan tidak bersalah sama sekali. Tampang mereka juga tidak menunjukkan bahwa mereka seorang Psikopat atau Kriminal. Namun, itulah kenyataan. Orang yang kelihatan paling tidak bersalah sekalipun, bisa jadi dialah tersangka utamanya.

     Aku memasuki ruang rawat Elena dan melihat Mama dan Papa sedang menungguinya dengan wajah lelah. Aku tersenyum pengertian.

     “Ma, Pa, biar gantian Dian yang jaga Elen ya? Mama sama Papa istirahat aja dulu,” aku berkata halus, berharap Mama dan Papa mau mengerti.

     Tapi aku lihat Mama menggeleng tidak mau.

     “Ma, jangan gitu dong. Kasian Elen kalau dia sadar dan liat Mama sama Papa gini. Dia pasti bilang gini deh, “Iiihh, Papa sama Mama kok pucat? Matanya kok bengkak? Jadi jelek kaaann. Jeleeekk. Elen nggak mau liat!” gitu,” aku menirukan gaya Elena yang biasa, dan lega melihat Mama dan Papa tersenyum geli setelahnya. “Mau kan gantian?”

     “Oke. Titip adik kamu ya, Di.”

     “Mama nggak usah khawatir.”

     Setelah itu aku melihat Papa dan Mama berjalan pelan menuju pintu keluar. Lalu kemudian hening. Sunyi. Sepi. Hanya aku sendiri bersama Elena yang terbaring koma di ruangan rawat ini. Ditemani mesin Elektrokardiogram yang berbunyi ‘tit tit tit' konstan.

     Aku menatap wajah Elena yang seperti tertidur pulas. Mengelus wajahnya dengan penuh kasih sayang. Lalu perlahan ... Perlahan ... Dan perlahan ... Senyumku terbit. 

     Aku tersenyum semakin lebar dan semakin lebar.

     Perlahan, aku dekatkan bibirku ke telinga saudariku tersayang dan berkata, “Aku gak nyangka mereka berdua sakit mental. Tapi bagus deh, aku jadi gak capek-capek buat mikirin rencana lenyapin kamu.”

     Setelah itu, bunyi ‘tiiiiiiittttt’ panjang terdengar dari mesin Elektrokardiogram.



Komentar