[CERPEN] Melody Piano Pembunuh

 “Percaya atau nggak. Pada kenyataannya, piano itu memang bisa membunuh orang hanya dengan membayangkan orang itu mati dengan cara yang kamu inginkan sambil memainkan piano itu. Tak peduli seburuk apapun permainan kamu, orang itu akan tetap mati.”

• • •


Tania and the genk. Dari raut wajah mereka bertiga yang aku lihat pagi ini, sepertinya mereka sedang badmood karena suatu hal yang aku nggak tahu. Mungkin malah badmood banget. Dan jika sudah seperti itu, sudah pastilah mereka akan melampiaskan kekesalan mereka itu pada seseorang. Seseorang yang lemah nggak berdaya dan nggak akan melawan. Seseorang seperti itu siapa lagi kalau bukan aku sendiri, si cewek pemalu yang gampang banget ditindas. 
     
Tapi masalahnya, aku benar-benar sedang nggak kepingin berurusan dengan mereka bertiga hari ini—kalau bisa malah aku kepingin selamanya nggak usah berurusan sama mereka. Rasanya capek banget jika harus terus-terusan menjadi pelampiasan setiap kali mereka kesal karena orang lain. Rasanya aku ingin banget melawan. Tapi, aku itu siapa? Cuma siswi yang menerima beasiswa dari sekolah, sama sekali nggak ada apa-apanya dibanding mereka yang anak kepala yayasan. Makanya, jalan satu-satunya untuk menghindari Tania and the genk adalah... bersembunyi di belakang guru. 
     
Istirahat pertama tadi aku lewati dengan sukses menghindar dari mereka karena aku langsung menempel pada Bu Wati begitu bel berbunyi. Setelah itu aku langsung pergi ke perpustakaan, tempat yang paling anti didatangi oleh anak-anak populer dan mendekam disana sampai bel berikutnya berbunyi. Hingga Tania dan gengnya sama sekali nggak sempat menemukan dan membullyku waktu itu. Tapi, Gimana untuk sekarang? Yang jelas Tania and the genk itu sudah tahu rencanaku dan pasti nggak akan membiarkan aku kabur dengan mudah. 
     
Bel istirahat kedua sudah berbunyi dan apa yang aku khawatirkan semenjak tadi benar-benar menjadi kenyataan. Tanpa sempat aku mengejar Bu Indar, guru fisika yang baru selesai mengajar di kelasku, Tania sudah lebih dulu menjajah pintu kelas dan menyuruh semuanya, kecuali aku, untuk keluar. 
     
“Keluar, keluar, lo semua!” seru Tania pada seluruh teman-teman sekelas. Sementara dua anggota gengnya, Lola dan Anggi, kebagian memegangi tubuhku. 
     
Dalam pegangan itu tubuhku gemetar. Membayangkan apa yang akan dilakukan Tania padaku kali ini nggak urung membuatku takut. Apalagi dengan aku yang sempat menghindari mereka seharian ini. 
     
“Lepasin, Tan,” lirihku mengiba sambil mencoba melepaskan diri dari pegangan Lola dan Anggi, meski aku tahu Tania nggak akan pernah sebaik itu untuk melepaskan aku begitu saja. Tapi setidaknya aku mencoba. “Aku bakal lakuin yang kamu suruh asal kamu lepasin aku kali ini.” 
     
Mendengar itu, Tania and the genk malah tertawa. “Eh, enak aja. Lo udah bikin kita kesel terus lo minta kita lepasin lo gitu aja? Nggak usah ngarep deh,” kata Tania. “Lagian lo jadi pesuruh kita tuh udah seharusnya kali,” lanjut cewek itu. 
     
“Bener banget. Tau nggak kalo kita lagi bete banget hari ini, dan elo malah berani menyulut api di atas minyak. Sekarang rasain dong akibatnya.” Anggi tiba-tiba menyahut seperti provokator ulung. 
     
“Nah, Tan, sekarang kita mau apain dia?” 
     
Tania tersenyum. Bibirnya tertarik hampir-hampir mencapai telinga saat dia tersenyum. Lalu berkata, “Tenang, gue udah siapin semuanya kok.” 
     
Kemudian Tania mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah spidol warna-warni yang seketika membuat mataku langsung membelalak. Spidol warna-warni yang sempat membuat aku trauma banget dengan benda itu. Karena Tania. Seketika ingatanku sampai pada kejadian beberapa minggu lalu. Saat Tania, cewek itu dengan nggak berperasaannya asyik mencoret-coret mukaku dan membikinnya menjadi serupa badut taman kota. Membuat aku malu setengah mati sampai-sampai terpaksa harus melewatkan beberapa pelajaran di jam-jam terakhir dan mendekam di toilet. 
     
Bukan Cuma itu saja, sesampainya di rumah, aku juga harus menghadapi kemarahan Mama karena sisa penampilanku yang super duper buruk itu. Perlu kamu tahu jika hubunganku dengan Mama nggak terlalu baik sejak setahun lalu, tepatnya saat Mama dan Papa bercerai. Maka, saat tahu aku mendapat perlakuan yang nggak adil di sekolah, Mama bukannya iba atau memaksaku untuk pindah sekolah, wanita itu justru menambahi penderitaanku dengan menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah tanpa sempat membersihkan diri. 
     
Tania di depanku sudah siap dengan spidol yang teracung. Aku memberontak. Aku dengan sengaja menggoyang-goyangkan tubuhku agar lepas dari pegangan Lola dan Anggi. Dan entah beruntung atau apa, aku benar-benar lepas! Tanpa buang waktu aku meraih pintu dan berlari kencang keluar kelas, berlari tanpa tujuan, menghindari Tania and the genk. 
     
Di belakangku, aku dengar Tania berteriak kesal, sebentar sebelum akhirnya ikut lari mengejarku juga. Sampai tanpa aku sendiri sadari, tahu-tahu aku sudah ada di depan pintu toilet yang terletak di ujung kelas dua. Di samping toilet itu hanya ada tembok setinggi 2 meter, dan nggak mungkin banget bisa aku panjat, membuat aku tanpa sadar menghela napas kasar. Ini jalan buntu. 
     
Aku menengok ke belakang dengan panik, Tania semakin dekat dan aku harus berpikir cepat untuk sembunyi darinya. Tapi dimana? Aku mencari-cari tempat yang cocok. Lalu, karena nggak ada tempat sembunyi yang pas selain di dalam toilet, tanpa pikir panjang aku masuk ke salah satu bilik toilet itu, bilik ke 3 di pojokan yang nggak pernah di pakai karena rusak, dan menguncinya rapat-rapat. Setelah itu berdoa semoga aku bisa lolos dari Tania and the genk kali ini. 
     
Nggak lama aku mendengar suara Tania masuk ke toilet bersamaan dengan suara Lola dan Anggi. Mereka memaki-makiku. Aku menutup mulut, gemetar di tempatku berdiri. Tanpa sadar kakiku reflek mundur semakin dekat dengan kloset. Semakin mundur... Semakin mundur... Hingga aku nggak sengaja menekan tombol kloset yang tahu-tahu sudah ada di sampingku. 
     
Tiba-tiba, sebuah lubang besar seperti terbuka dengan sendirinya tepat di bawah kakiku, dan membuat aku jatuh terperosok. Seketika aku menjerit dan menutup mata. Aku bisa membayangkan wajah Tania and the genk yang puas banget karena mereka pikir mereka sudah berhasil menemukanku. Namun, aku juga bisa membayangkan wajah bingung mereka saat membuka bilik kamar mandi itu dan nggak menemukanku di sana. 
     
Aku membuka mata dan melihat ke atas, lubang itu sudah tertutup lagi. Lalu berdiri. Hampir-hampir kupikir aku akan terjebak di tempat ini tanpa ada satu orang pun yang tahu seandainya aku nggak menyadari jika sekarang aku ada di sebuah lorong yang gelap dan dingin. 
     
Mencoba berani, aku mengikuti lorong ini. Yang pada akhirnya berakhir pada sebuah ruangan dengan kursi-kursi yang tersusun berantakan. Dengan debu-debu menumpuk setinggi beberapa milimeter yang seketika membuatku batuk-batuk. Dan sebuah piano tua di sudut. Lalu, sebuah pintu tertutup rapat di dekat piano. Dan melihat semua ciri itu, aku yakin banget jika ini ruang musik lama yang sudah beralih fungsi menjadi gudang. 
     
Melihat piano seketika perasaan cemas karena Tania and the genk menguap berganti dengan keinginan memainkan piano itu. Sudah lama sekali sejak aku nggak menyentuh dan bermain piano. Sudah sejak kelulusan SD. Selalu belum ada kesempatan untuk aku menyentuh benda itu lagi. SMPku sama sekali nggak ada alat musik ini, dan SMA sekarang pun aku nggak bisa ikut eskul musik karena biaya eskul yang sangat mahal menurutku. 
     
Aku mencoba menekan tuts piano dan agak kaget, sekaligus senang, saat tahu piano tua itu masih bisa berbunyi. Lalu buru-buru, aku mengambil kursi secara asal. Aku menaruh kursi itu tepat di depan piano dan mendudukinya, melihat partitur lagu yang ternyata juga terpasang dengan tulisan fur elise yang lumayan familier di telingaku. Lalu, sedikit menyeka debu yang banyak menempel di atas tuts. Aku bermain mengikuti partitur. 
     
Saat itu lagu bertempo menenangkan terdengar. Cukup enak walau nggak sebagus saat anak-anak klub musik memainkannya. Membuat aku sontak teringat pada kedua orang tuaku dulu yang suka banget memujiku cerdas. 
     
Lalu, pada guru-guru yang juga suka memujiku cerdas. 
     
Pada teman-temanku. 
     
Dan pada sahabatku, Tania. 
     
Mengingat nama Tania, seketika membuat aku merasa sangat sesak dan geram. Emosiku seketika meletup-letup naik. Aku kecewa, kesal sekaligus benci. Aku benci pada cewek penghianat itu. Aku benci pada cewek yang sudah menghancurkanku bertahun-tahun lalu. Sampai-sampai rasanya ingin sekali aku membalasnya dengan cara paling menyakitkan yang pernah cewek itu rasakan. 
     
Bayangan-bayangan buruk tentang Tania and the genk kemudian mulai bermunculan di otakku tanpa bisa dicegah. Tentang Tania yang akhirnya menyerah setelah nggak kunjung menemukanku dimanapun bahkan sampai waktu pulang sekolah tiba. Kemudian cewek itu akhirnya memilih pulang bersama dua anggota gengnya, Lola dan Anggi. Lalu di tengah perjalanan, mereka bertiga terlibat kecelakaan. Mobil mereka ditabrak sebuah truk saat dipersimpangan. Membuat mereka akhirnya mati dengan bagian tubuh terburai mengenaskan. 
     
Emosiku yang nggak stabil tanpa sadar sudah berimbas pada permainan pianoku juga. Permainanku sekarang nggak ubahnya seperti permainan anak tk yang baru pertama kali menyentuh piano. Sangat sangat buruk dan nggak terarah sama sekali. Namun, aku tetap menikmatinya bahkan lebih menikmati permainanku yang ini ketimbang tadi. 
     
Beberapa lama kemudian aku tersenyum setelah puas bermain dengan piano itu. Aku berdiri dan beranjak mencari pintu keluar yang ternyata ada di depan mata. Sebuah pintu rahasia lagi yang aku temukan sedikit terhalangi kursi-kursi dan meja. Aku melewati pintu itu, dan berakhir dengan aku yang tahu-tahu sudah berada di dalam ruang kesehatan. Untung ruang kesehatan sudah kosong hingga aku nggak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang nggak ingin aku jawab.

• • •


Bel Pulang sekolah hari ini sudah dibunyikan dan seperti mauku, Tania and the genk sama sekali nggak berhasil menemukanku sampai akhir. Aku memang sengaja nggak masuk kelas dan memilih bersembunyi di taman belakang sampai pelajaran berakhir. Dan memilih memperhatikan dari jauh Tania yang mencari-cariku sampai akhirnya cewek itu menyerah sendiri. Saat itu aku menghela napas lega. Aku berhasil lolos dari Tania hari ini. Namun aku nggak tahu apa yang akan terjadi padaku besok dan besoknya lagi. 
     
Aku menunggu Tania and the genk benar-benar keluar dari gedung sekolah sebelum aku sendiri keluar dan menunggu bus untuk pulang ke rumah. Aku melihat mobil mereka yang melaju melewati gerbang, lalu berbelok sampai akhirnya nggak kelihatan lagi oleh mataku. 
     
Kemudian aku baru berjalan menuju gerbang sekolah saat tiba-tiba, aku melihat orang-orang berlari menuju persimpangan. Aku mendengar bisik-bisik mereka tentang kecelakaan dan korban meninggal, membuat aku seketika penasaran dan tanpa buang waktu bergabung dengan orang-orang yang sudah berkerumun itu. Jantungku tiba-tiba berdebar nggak keruan. Lalu sekilas aku melihat mobil Tania di tengah kerumunan itu. Mobil itu ringsek parah di bagian samping, membuat aku dengan kasar segera menyingkirkan kerumunan orang-orang itu. Ingin melihat lebih jelas. 
     
Dalam hati aku berdoa semoga apa yang aku bayangkan salah. Mobil itu bukan mobil Tania. Dan korban meninggal itu juga bukan Tania, Lola dan Anggi. Namun, tubuhku langsung lemas begitu sampai di depan mayat yang sedang dieksekusi polisi itu. Mayat itu benar-benar mayat Tania and the genk. Dengan kondisi yang sama sekali nggak berbeda dari apa yang aku bayangkan waktu di ruang musik lama tadi.

• • •


Di dalam bus aku masih terngiang-ngiang kondisi mayat Tania and the genk tadi. Aku masih nggak percaya, dan merasa ini semua bukan hanya kebetulan semata. Aku merasa piano itu ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa Tania and the genk hari ini. Dan kalau memang benar-benar berhubungan, apa itu artinya akulah yang membunuh mereka? Aku membunuh Tania, Lola dan Anggi? Memikirkan itu bukan hanya membuat aku pusing dan merasa bersalah, tapi benar-benar sangat menyesal. 
     
Tiba-tiba, seseorang berteriak keras di samping telingaku. Reflek, aku melihat ke depan, dan membulatkan mata. Sebuah truk melaju sangat kencang dan akan menghantam bus ini.

Komentar