[CERPEN] Misteri Luna


MISTERI LUNA


       AKU ketakutan seperti seorang gadis kecil yang takut akan mimpi buruk. 
Ini mengerikan. 

       Aku ingin menangis tapi tak setetes pun air mata keluar. 

       Kulihat, seorang gadis kecil meraung-raung pada ibunya yang memaksanya untuk ikut. Di pinggir jalan yang ramai, dengan banyak orang yang melihat mereka. Tubuh gadis kecil terguncang-guncang karena menangis. Napasnya pasti sesak. Seorang pria dibelakang mereka hanya bisa menunduk sedih karena tak mampu berbuat apa-apa. Dan aku bisa mendengar dia berkata lirih, "Maafin Papa, Lu..." 
Saat itulah sebuah bus berhenti di depan ibu gadis kecil itu. Sang ibu menarik kasar tangan gadis kecil meninggalkan pria itu dan masuk ke dalam bus. Sang ibu pergi dengan marah. Dan aku mengikuti mereka berdua. 

       Lalu bus melaju kencang menuju suatu tempat. Mungkin terlalu kencang sampai-sampai membuat gadis kecil dan aku ketakutan. 

       "Ibu, Lulu mau sama ayah bu," kata gadis kecil merengek, membuat sang ibu marah dan reflek memukulnya. Lalu sang ibu menangis seperti menyadari kesalahannya itu. 

       "Nggak! Lulu nggak boleh sama ayah, Lulu harus sama ibu. Apa Lulu nggak sayang sama ibu?" 

       Gadis kecil menggeleng tanda tidak setuju. "Lulu sayang ibu dan ayah," katanya. "Lulu mau kita sama-sama lagi." 

       Lalu giliran sang ibu yang menggeleng. "Nggak bisa. Lulu harus pilih antara ibu atau ayah." 

       "Tapi..." 

       Tiba-tiba suara ban meledak yang sangat memekikkan telinga terdengar dan mengalihkan perhatian mereka semua. Lalu setelah itu bus terentak keras, membuat semua orang menjerit ketakutan. Semua orang ketakutan begitupun aku. 
"AAAAAAHHHHHH!!!" kami semua menjeris sekeras-kerasnya. 

       Tubuh kami terguncang-guncang beberapa saat sebelum akhirnya berhenti. Bus berhenti dalam kondisi terbalik. Dan tubuhku serasa mati. 

       Lalu, kulihat gadis kecil itu. Tubuhnya terbaring dengan tubuh terimpit orang dewasa di sampingku. Dengan posisi aneh-tak seorangpun di sini yang terbaring dengan posisi benar-dan kondisi yang sangat mengenaskan. Wajah dipenuhi pecahan kaca. Darah mengotori sekujur tubuhnya. Dan matanya... Matanya seperti menangis darah! 

       Aku terbangun seperti seorang anak kecil yang takut akan mimpi buruk. 
Wajahku pasti sembab sekali sekarang. Kepalaku pusing karena terbangun tiba-tiba. Dan anehnya, rasa sakit yang kualami tadi di dalam mimpi, seperti mengikutiku sampai ke dunia nyata. Aduh! Rintihku pelan. Lalu pandangan mataku yang nanar menyapu kamarku ini. 

       Kamar yang kutempati sekarang masih sama seperti terakhir kali aku membuka mata sebelumnya, oh kira-kira malam Kamis. Dan sekarang? Hum, malam apa sekarang? Malam Jumat? Yang jelas sekarang ini bukanlah siang hari karena di luar jelas sudah gelap. Lampu di kamar ini mati semua. Lalu semua jendelanya juga tertutup rapat-rapat. Namun karena lampu di lorong depan, kini aku masih bisa melihat gundukan-gundukan putih milik teman-teman sekamarku walau samar. 
Tapi omong-omong, di mana mereka semua? Teman-teman sekamarku yang unik. Apa mereka bermain-main tanpa mengajakku lagi? Dasar. Tidak salah jika kusebut mereka pengkhianat. 

       Eh, sebenarnya tidak semuanya pantas disebut pengkhianat sih, karena ternyata aku masih melihat mbak Kristine yang sedang menyisir rambut super panjangnya di samping gundukan putih di pojok kamar. Baju putih yang dipakai mbak Kristine membuatnya semakin mirip saja seperti kuntilanak. Atau... Yah, dia itu kuntilanaknya mungkin. 

       Aku mendekati mbak Kristine dengan hati-hati, takut-takut kalau aku sampai mengganggu. 

       "Lagi ngapain mbak?" tanyaku begitu sampai di samping mbak Kristine yang langsung kaget. Ah, aku yakin sebelumnya dia tidak sadar kalau aku sudah bangun. 
"Eh, Luna, udah bangun ya? Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanyanya, dan aku pun mengangguk. 

       "Lagi ngapain mbak?" 

       Mbak Kristine meletakkan sisirnya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Ooh Ini, biasa, rambut mbak kan terlalu panjang, jadi harus sering-sering disisir biar enggak gimbal. Ngerti kan? Kamu nyari Abel ya?" 

       Ah iya, Abel. Aku seakan baru ingat nama adik kesayanganku itu. Sebenarnya, Abel cuma teman sekamarku yang sudah aku anggap adik sih. Usianya baru 10 tahun, sedangkan aku baru 15 tahun, tahun ini. Dan alasan kami menjadi kakak beradik adalah karena kami merasa memiliki nasib yang sama, juga karena aku menyayanginya. Yah, sebenarnya semua orang yang tinggal di kamar ini juga sudah kuanggap keluarga karena alasan itu. Karena kami semua sama-sama tidak memiliki keluarga. Di tambah karena kami semua merasa cukup cocok. Jadi, daripada aku menunggu kabar keluarga asliku yang tidak jelas, lebih baik aku di sini dan membangun keluargaku sendiri kan? 
Mbak Kristine menjadi kakakku karena usianya baru 19 tahun. Meski dia selalu asyik dengan dunianya sendiri dan seringkali lupa dengan keadaan sekitar, tetapi dialah orang yang paling perhatian padaku. Buktinya, tadi mbak Kristine menanyakan apa tidurku nyenyak atau tidak, kan? 

       "Iya mbak. Abel kemana sih? Kok nggak ada," tanyaku. Dan aku menyesal menanyakan itu karena, setelah ini aku yakin mbak Kristine akan menyindirku lagi seperti kemarin-kemarin. 

       "Ih, kamu itu Lun, masih muda kok udah pelupa sih?" tuh kan? Apa aku bilang, mbak Kristine menyindirku lagi. Tapi setelah itu dia melanjutkan, "biasalah, mereka kan biasanya di lobi," 

       "Terus, kenapa mbak nggak ikut?" 

       "Kamu kayak nggak tahu mbak aja, lagi males, sana gih, buruan susul Abel, keburu dia ngilang kayak kemarin." Kata mbak Kristine. 

       Benar juga. 

       "Ya udah mbak, kalo gitu Luna kesana dulu ya?" 

       "Iya, sana." 

       Dengan begitu aku pun meninggalkan mbak Kristine di kamar kami sendirian. Sedangkan aku menuju lobi. 

       Di lorong, aku tidak melihat banyak orang yang berkeliaran selain beberapa suster yang memang bertugas mengecek setiap kamar. Dan aku terbiasa menghindar dari mereka semua walau sebenarnya, tidak ada bedanya juga aku berpapasan dengan mereka atau tidak. Di sebuah kamar rawat, aku melihat jarum jam dinding sudah menunjuk angka 9. Aku menghela napas tidak menyangka. Kukira masih jam 7... 

       Tuk tuk tuk. Tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu mendekat, membuat aku langsung bersembunyi di balik tembok yang agak menjorok. Pasti seorang suster, pikirku. Dan tebakanku memang tepat karena tidak lama kemudian, aku melihat seorang suster berjalan melewatiku dengan wajah lelahnya. Dia pasti di suruh kerja lembur hari ini. 

       Aku keluar saat tidak ada lagi suster yang berkeliaran di sekitarku. Kemudian melanjutkan langkahku menuju lobi. 

       Bibi Jane tak pernah berubah. Dia tak pernah bosan mendengar gosip dua petugas resepsionis perempuan di balik meja. Mereka pasti tengah membicarakan tentang dokter-dokter ganteng di rumah sakit ini. Kulihat bibi Jane duduk memangku tangan di depan dua resepsionis yang tak pernah sadar akan kehadirannya. Sesekali terkikik saat mendengar lelucon dua resepsionis itu seperti orang gila. Dan aku tidak mau bergabung dalam kegilaan mereka saat bergosip lagi (aku ingat saat pertama kali dipaksa bibi Jane untuk bergabung, yang pada akhirnya membuatku tertidur karena amat bosan). Jadi, aku buru-buru kabur sebelum bibi Jane sempat melihatku di dekat meja. 

       Lalu kulihat seorang lainnya. Paman Sam. 

       Paman Sam sedang menggoda perempuan di bangku tunggu, dia terlihat begitu memesona walau umurnya sudah tidak muda lagi. Perempuan itu pasti tidak sadar saat paman Sam diam-diam merangkulnya. Paman Sam adalah tipe orang yang pantang menyerah. Meski tidak satu pun dari para perempuan-perempuan itu yang menanggapinya, paman Sam tidak pernah tuh patah semangat. 

       Terus, dimana Abel? 

      "Kakak awas kak!!!" tiba-tiba teriakan anak kecil dari arah belakang membuatku tersentak. Abel, dia pasti sedang bermain menjadi pencuri lagi kali ini. Dia berakting seolah sedang dikejar-kejar polisi sehabis mencuri. Hihi, rasanya lucu melihatnya berakting. Aku tertawa melihat tingkah Abel. 

       Dasar pencuri kecil, pikirku. 

      Lalu tidak lama, kulihat Abel berhenti berlari saat melihat sesuatu yang menarik. Dalam pikiranku, pasti dia menemukan sasaran baru. Aku penasaran siapa sasarannya kali ini. 

       Dari kejauhan terlihat ibu-ibu yang sedang membawa tas mahal hendak menuju pintu keluar. Abel mengikuti ibu itu. Lalu dengan hati-hati, seperti seorang pencuri profesional, Abel mengambil sesuatu dari tas mahal itu tanpa diketahui. Sebuah kunci mobil. Aku ikut bersorak bahagia saat Abel berhasil mencuri lagi kali ini. Kemampuannya semakin meningkat saja. Aku tak khawatir soal ibu yang kehilangan barangnya, karena aku tahu Abel hanya bermain-main saat mengambil kunci itu. Dia pasti akan mengembalikannya nanti. 

        Lalu kulihat lagi, mata Abel kali ini lebih berbinar-binar saat melihat sasaran selanjutnya. Aku mengikuti arah pandangnya dan... terbelalak. Astaga! Pandangan Abel tertuju pada seorang gadis seusiaku yang sedang berjalan bersama pria dewasa di sampingnya. Mereka tampak mirip. Rambut pirang cemerlang ditimpa lampu philip, serta mata berwarna biru yang indah. Pria dewasa yang tampan dan gadis kecil yang cantik sekali.
Membuatku iri saja. 

       Kulihat Abel lagi. Kuduga anak itu akan mengikuti pria dan gadis pirang yang sepertinya orang bule itu. Dan perkiraanku tidak meleset, Abel memang mengikuti mereka berdua. Oh tidak! Anak itu pasti akan melakukan sesuatu yang buruk. Aku harus mencegahnya. 

       "Abel!" aku memanggil anak itu berharap dia mau berhenti. Namun percuma saja, Abel susah sekali dihentikan jika punya keinginan. 

       Aku mengejar Abel sampai ke tempat parkir, tetapi terlambat. Abel sudah keburu masuk ke dalam bagasi mobil orang bule meninggalkanku. Aku panik membayangkan hal mengerikan yang sebentar lagi akan terjadi. Lalu aku menggeleng kuat-kuat. Tidak! Aku tidak bisa membiarkan Abel melakukan hal itu lagi! Tidak akan! 

       Aku mengambil napas sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya berlari sekuat tenaga mengejar mobil itu. Kupaksa kakiku berlari kencang. Sangat kencang hingga dapat mengejar mobil itu. Lalu terengah-engah begitu akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang sangat mewah. 
Aku mencari Abel dengan tenaga yang tersisa. Menembus tembok demi tembok hingga aku menemukannya di dalam sebuah kamar bernuansa pink khas seorang gadis. 

       "Abel...," aku memanggil Abel dengan nada lirih akibat shock. "kamu..." 

       Tidak bisa kupercaya apa yang aku lihat sekarang ini. Di belakang Abel, tubuh gadis pirang yang aku lihat beberapa menit lalu terbaring lemah, dengan kedua mata yang tertutup dan mengalirkan darah segar. 

       Aku tidak bisa menahan kakiku lagi setelah melihat keadaan itu. Aku menutup wajah dengan tangan. Aku bersalah. "Aku... terlambat..." 

      "Kakak! Coba lihat apa yang aku dapat untuk kakak," kata Abel dengan senyum lebar, tiba-tiba membuat aku jijik pada diriku sendiri. "Kakak pasti sangat cantik kalau memakai ini." lanjutnya sambil menyerahkan sepasang bola mata kepadaku. Bola mata indah seindah batu safir. Bola mata gadis cantik tadi! Haruskah aku senang? Atau marah karena hadiahnya itu? 

       Seketika aku mengingat jika bola mata yang aku pakai saat ini juga adalah hasil mencuri. 

• • • 

       Keesokan malamnya, kudengar para suster berbisik-bisik tentang pasien yang kehilangan bola matanya secara misterius. Namun, aku tahu siapa pelakunya. 

       Abel. 

       Si pencuri kecil. 

       Si hantu gentayangan yang melakukannya untuk hantu gentayangan lainnya, yaitu aku. 

       Aku memandang kaca di depanku dengan wajah sedih. Tak ada bayangan siapapun di sana. Tidak ada bayangan gadis kecil yang sebelumnya bermata kelam dan sekarang bermata biru. 

      "Wah, Luna, andai kamu bisa melihat, kamu pasti akan terpesona dengan dirimu sendiri. Kamu sangat cantik. Abel benar-benar pandai memilih ya?" kata bibi Jane memuji. 

       Mbak Kristine menyambung, "Betul, kamu cantik banget dengan mata itu Lun..." 

      Sedangkan aku masih diam di depan kaca tanpa menyahuti perkataan mereka. 
Otakku berpikir tentang nama yang mereka sebut-sebut itu. Dan mimpi itu. 
Luna. Dan Lulu. Bukannya panggilan itu kedengaran mirip? Mirip sekali, kan? Bagaimana jika mereka orang yang sama? Aku. Yah, akulah gadis kecil di mimpiku sendiri. Dan aku sudah mati. Bersama keempat penghuni kamar lainnya. KAMI SEMUA SUDAH MENINGGAL! 

Komentar